Wednesday, January 5, 2011

DEZULFURISASI BATUBARA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan  pemakaian  batubara  hingga  saat  ini  semakin  meningkat.  Hal  itu  didukung  oleh adanya  program  pemerintah  yang menetapkan  batubara  sebagai  sumber  energi  alternatif  utama.  Sejalan dengan  perkembangan  pemanfaatan  batubara  di  Indonesia,  muncul  pula  beberapa  kendala  yang menghambat  perkembangan  tersebut. Kendala  utama  tersebut  adalah  adanya  gas SO2 hasil  pembakaran batubara  yang  dapat  menimbulkan  pencemaran  udara. Untuk  mengurangi  gas  SO2 ini  dapat  dilakukan dengan mengurangi  kandungan  sulfur  sebelum  batubara  dibakar  (desulfurisasi)  atau  dengan mengurangi kandungan sulfur setelah batubara dibakar (flue gas desulfurization).
Energi  batubara  merupakan  jenis  energi  yang  sarat  dengan  masalah  lingkungan,  terutama kandungan  sulfur  sebagai  polutan  utama. Sulfur batubara  juga  dapat menyebabkan  kenaikan  suhu  global serta  gangguan  pernafasan.. Cara yang  tepat untuk mengatasi hal  tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal combustionmelalui desulfurisasi batubara
Salah satu teknologi konversi energi adalah pembangkit tenaga listrik. Penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik akan dapat meningkatkan emisi dari partikel SO2, NOX, dan CO2. saat ini bahan bakar pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil, salah satunya adalah batubara. Penggunaan batubara untuk bahan baker pembangkit listrik diperkirakan akan terus meningkat. Meskipun kandungan sulfur batubara Indonesia relative kecil tetapi penggunaan dalam jumlah besar akan dapat meningkatkan emisi SO2 sehingga dapat berdampak negative terhadap manusia dan lingkungan
Dalam hubungannya dengan penggunaan energi, terus dilakukan inovasi pada teknologi yang memproduksi, mengkonversi, menyalurkan, dan menggunakan energi sehingga diperoleh teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Batubara
Kemajuan pesat teknologi industri khususnya sejak akhir tahun 1950-an membuat konsumsi energi meningkat sangat pesat. Hal ini membuat pemakaian bahan bakar fosil  (minyak bumi, gas alam,batubara) secara besa-besaran tidak  terhindarkan. Bahan bakar fosil yang mudah dieksplorasi dandapat diperoleh dalam jumlah besar dengan biaya yang tidak terlalu tinggi menjadi   sumber   energi   utama   dunia   selama berpuluh tahun. Dari data akhir 1990-an, peta sumber energi dunia adalah sebagai berikut :  
Sumber Energi
Persentasi
Available Years
Oil
38.6 %
45
Coal
27.3 %
230
Natural Gas
21.6 %
65
Water Power
6.7 %
-
Nuclear Power
5.7 %
43 (uranium235)
New Energy and Others
0.1 %

 (source: Clean Coal Science Handbook, 1995 available years dihitung dengan asumsi pemakaian energi sama dengan pada saat data dibuat t ermasuk dalam New Energy adalah: plasma, fuel cell, solar cell, danlain-lain.)

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ketergantungan terhadap bahan bakar fosil tidak dapat dielakkan paling tidak dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang. Tetapi pemakaian bahanbakar fosil secara besar-besaran juga membawa dampak yang sangat serius terhadap lingkungan terutama isu global warming dan acid rain. Melihat urgensi teknis pembakaran bahan bakar fosil yang clean untuk meredam isu- isu   lingkungan   tsb,   dipandang   perlu   untuk mengembangkan sistem pembakaran yang baru dan lain dari yang konvensional.Batubara memiliki keunggulan dibanding bahan bakar fosil lainnya, yaitu:
1.    Jumlah batubara  yang economically exploitable lebih banyak
2.    Distribusi batubara di seluruh dunia lebih merata.
Kelemahan Batubara :
1.    Karena komposisi coal adalah CHONS + Ash, coal identik dengan bahan bakar yang kotor dan tidak ramah lingkungan.
2.    Dibanding bahan bakar fosil lainnya, jumlah kandungan C per mol dari batubara    jauh lebih besar.Hal ini meyebabkan pengeluaran CO2 dari batubara juga jauh lebih banyak. Demikian juga dengan  kandungan Sulfur (S) dan Nitrogen (N) nya yang bila keluar ke udara   bebas   bisa   menjadi  H2SO4   dan H2NO3   yang   merupakan   penyebab   hujan asam.
2.2 Teknologi  desulfurisasi batubara
Dalam proses penangkapan unsur ‘S’ atau desulfurisasi batubara dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yang berbeda yaitu secara :
1. Kimia
2. Biologi
3. Fisik
Penghilangan unsur S dalam batubara  juga dapat diaplikasikan  sebelum pembakaran berlangsung, sesudah  pembakaran  ataupun  ketika  pembakaran  batubara  berlangsung. Berikut  ini  merupakan  contoh penghilangan unsur S dalam batubara dalam furnace ketika pembakaran berlangsung.Untuk "menangkap”  S, kedalam furnace  disemburkan bubuk kapur  CaCO3 yang disebut  sorbent.
Salah satu alasan pemilihan CaCO3 adalah harganya yang murah dan mudah diperoleh. Proses yang terjadi di dalam furnace adalah sebagai berikut :
1.   Desulfurization (De-SOx) Reaction :
     CaCO3      → CaO + CO2
     CaO + SO2+ ½ O2 → CaSO4 (solid)
      ( S telah "tertangkap" dalam bentuk endapan )
2.    Di  suhu  tinggi (di  atas 1300˚ C)  terjadi  reaksi berikut:
    CaSO4 → CaO + SO2+ ½ O2  
( Hal ini menyebabkan De-SOx efisiensi berkurang drastis )
2.2.1 Desulfurisasi Batubara Dengan Proses Kimia
1. Tujuan Desulfurisasi Batubara Dengan Proses Kimia bertujuan untuk :
A.  Untuk menghasilkan batubara yang dapat dibakar secara langsung tanpa megalami proses desulfurisasi pada gas buang.
B.  Untuk mengurangi gas cleaning setelah proses gasifikasi batubara.
2. Tahapan proses desulfurisasi secara kimia yaitu:
a.    Oksidative ( temperatur penguraian batubara dibawah 400oC )


1). Zat Pengoksidasi
Pada  proses  oksidasi  untuk  menghilangkan  sulfur  yang  terkandung  dalam  batubara menggunakan zat pengoksidasi sebagai berikut:
a) Metal ions (Fe+3, Hg+2, Ag+)
b) Strong acids (HNO3 + HClO4)
c) O2, Cl2, SO2, H2O2 dan udara.
2). Meyers Process:
Metode  yang  digunakan  dalam  proses  oksidasi  ini  yaitu  Metode  Meyer yang  telah dikembangkan. Proses  tersebut  berdasarkan  oksidasi  kandungan  sulfur  bentuk  pirit  dalam batubara  dengan  menggunakan  larutan  Ferric  sulfate panas,  tanpa  menghilangkan  asam organik.
a) Batubara              : berukuran 1.4 mm
b) Pereaksi                : Fe2(SO4)3
c) Temperature         : 100-130oC
d) Waktu                   :  5-6 jam
e) Tekanan                :  3-6 atm
f) Pirit dioksidasikan menjadi ferrous sulfate, H2SO4 dan unsur S.
g) Penghilangan Pyritic-S : 83-99 %
h) As, Cd, Mn, Pb dan Zn juga dihilangkan.

3). Reaksi oksida desulfurisasi sebagai berikut:
5FeS2 + 23Fe2(SO4)3 + 24H2O→51FeSO4+ 4S
O2 ditambahkan untuk mengoksidasi FeSO4 agar kembali menjadi Fe2(SO4)3
4FeSO4 +  2H2SO4 + O2 →2Fe2(SO4)3 +  2H2O
Netralısasi batu kapur untuk menghilangkan kelebihan sulfat
Fe2(SO4)3 +  CaO→3CaSO4 + Fe2O3
FeSO4 +  CaO →CaSO4 + FeO
4).  Reaksi oksidade sulfurisasi secara umum :
2FeS2 + 7O2 + 2H2O→ 2FeSO4 +  2H2SO4
4FeSO4 +  O2 +  2H2SO4 →2Fe2(SO4)3 + 2H2O
Fe2(SO4)3 +  3H2O → Fe2O3 + 3H2SO4
b. Caustic ( temperatur penguraian batubara dibawah 400oC )
     1). Reaksi Desulfurisasi menggunakan caustic :
2FeS2 + 6NaOH→2NaFeO2 + Na2S + 2H2O + O2
Coal-S + 2NaOH →Coal-O + Na2S + H2O
      2). Molten Caustic Leaching (MCL)
Proses MCL konvensional menggunakan campuran NaOH + KOH  (1:1), atau NaOH + KOH + Ca(OH)2 pada temperatur 370-390 oC selama 2-3 jam.

c. Reduction (proses hidrosulfurisasi pada temperatur > 440 oC).
Reaksi yang terjadi pada proses reduksi adalah sebagai berikut :
FeS2 + H2 →FeS(s) + H2S (g)
FeS + H2 →Fe + H2S (g)
3. Kekurangan proses desulfurisasi secara kimia:
a)     Biaya proses tinggi.
b)     Severe leaching conditions (100-400oC).
c)     Energy intensive.
d)     Penambahan material  ke  dalam batubara selain dapat mengurangi  kandungan ash dan sulfur dapat juga berpotensi menjadi polutan.
e)     Banyak di temukan permasalahan pengendalian polusi, korosi dan pembuangannya.
2.2.2. Desulfurisasi Batubara Dengan Secara biologi
Kandungan  sulfur  dalam  batubara  dapat  dihilangkan  dengan  metode  biologi  yang  dikenal dengan Mikrobial  desulfurization.  Proses  desulfurisasi  secara mikrobiologi  dapat  dilakukan  dengan cara pengoksidasian pyrite, unsur S, dan S-organik oleh bakteri. Beberapa mikroorganisme yang mampu mengoksidasi Sulfur, yaitu:
 Acidithiobacillus ferrooxidans, (for FeS2).
 Acidithiobacillus thiooxidans,  (for FeS2) .
 Leptospirillum ferrooxidans,    (for FeS2).
 Sulfolobus acidocalderius       (for FeS2).
 Rhodopseudomonas spheriodes (for organic-S).
1. Reaksi
2. Proses konversi batubara menggunakan biotechnolgy
2.2.3 Physical desulphurization (coal preparation)
Desulfurisasi secara  fisika memiliki peran penting dalam pengurangan kandungan sulfur dan abu dalam batubara, hanya dapat menghilangkan pyritic sulfur dan mineral lainnya.
1. Advanced novel coal beneficiation techniques
2. Microcel (column flotation)
2.3 Teknologi Desulpurisasi pada Pembangkit Listrik
Flue Gas Desulfurization (FGD)
Selain memperbaiki  efisiensi  dan  sistim  pembakaran  batubara,  sebagai  upaya  untuk  mencegah berlanjutnya  krisis  ekologi  dewasa  ini  juga  telah  dikembangkan  sistim  peralatan berteknologi  tinggi  yang mampu memisahkan  gas-gas  polutan  seperti SOx dan NOx  dalam gas  buang dari  pembakaran  batubara. Salah  satu  metode  untuk  memisahkan  polutan  SOx  dalam  gas  buang  adalah  dengan  teknik  flue-gas desulfurization (FGD). Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang  teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnya  "didinginkan" dengan air,  sehingga  SO3  bereaksi  dengan  air  (H2O)  membentuk  asam  sulfat  (H2SO4).  Asam  sulfat  selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistim FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam.
Selain  dapat mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam, gipsum yang dihasilkan melalui proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misal untuk  bahan  bangunan.  Sebagai  bahan  bangunan,  gipsum  tampil  dalam  bentuk  papan  gipsum  ( gypsum boards )  yang  umumnya  dipakai  sebagai  plafon  atau  langit-langit  rumah  (ceiling  - 4  – boards),  dinding penyekat  atau  pemisah  ruangan  ( partition  boards )  dan  pelapis  dinding  ( wall  boards ).  Amerika  Serikat merupakan  negara  perintis  dalam memproduksi  gipsum  sintetis  ini.  Pabrik  wallboard  dari  gipsum  sintetis yang pertama di AS didirikan oleh Standard Gypsum LLC mulai November tahun 1997 lalu. Lokasi pabriknya berdekatan  dengan  stasiun  pembangkit  listrik  Tennessee  Valley  Authority  (TVA)  di  Cumberland  yang berkapasitas 2600 Mega Watt.
Produksi  gipsum  sintetis  merupakan  suatu  terobosan  yang  mampu  mengubah  bahan  buangan yang mencemari  lingkungan menjadi  suatu produk baru  yang  bernilai  ekonomi. Sebagai  bahan wallboard, gipsum sintetis yang diproduksi secara benar ternyata memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan gipsum yang  diperoleh  dari  penambangan. Gipsum  hasil  proses  FGD  ini memiliki  ukuran  butiran  yang  seragam.
Mengingat  dampak  positifnya  cukup  besar,  tidak  mustahil  suatu  saat  nanti,  setiap  PLTU  batubara  akan dilengkapi dengan pabrik gipsum sintetis.
Jenis/tipe FGD
Sistem FGD dapat diklasifikasikan ke dalam 2 jenis, yaitu:
1. Sistem basah, Wet Flue Gas Desulfurization
2. Sistem kering, Dry Fle Gas Desulfurization
2.4. Dampak dari pembakaran batubara
Batubara yang masih mengandung elemen sulfur, nitrogen  baik  yang  terikat sebagai  senyawa organik,  anorganik,  atau  unsur  bebasnya  akan  menghasilkan  polutan  ( Sox  dan  Nox )  pada  saat pembakaran. Akibat dari polutan itu diantaranya adalah hujan asam.
1. Hujan Asam
Hujan  asam  adalah  suatu  masalah  lingkungan  yang  serius  yang  benar-benar  difikirkan  oleh manusia.  Ini  merupakan  masalah  umum  yang  secara  berangsur-angsur  mempengaruhi  kehidupan manusia.  Istilah  Hujan  asam  pertama  kali  diperkenalkan  oleh  Angus  Smith  ketika  ia menulis  tentang polusi  industri  di  Inggris  (Anonim,  2001).  Tetapi  istilah  hujan  asam  tidaklah  tepat,  yang  benar  adalah deposisi asam. Deposisi asam ada dua jenis, yaitu :
a. Deposisi kering
Deposisi kering  ialah peristiwa terkenanya benda dan mahluk hidup oleh asam yang ada dalam udara. Ini dapat terjadi pada daerah perkotaan karena pencemaran udara akibat kendaraan maupun asap  pabrik.  Selain  itu  deposisi  kering  juga  dapat  terjadi  di  daerah  perbukitan  yang  terkena  angin yang membawa udara yang mengandung asam. Biasanya deposisi jenis ini terjadi dekat dari sumber pencemaran.


b. Deposisi basah
Deposisi basah  ialah  turunnya asam dalam bentuk hujan. Hal  ini  terjadi apabila asap di dalam udara larut di dalam butir-butir air di awan. Jika turun hujan dari awan tadi, maka air hujan yang turun bersifat asam. Deposisi asam dapat pula terjadi karena hujan turun melalui udara yang mengandung asam sehingga asam  itu  terlarut ke dalam air hujan dan  turun ke bumi. Asam  itu  tercuci atau wash out. Deposisi jenis ini dapat terjadi sangat jauh dari sumber pencemaran. Hujan secara alami bersifat asam karena Karbon Dioksida  (CO2) di udara yang  larut dengan air hujan memiliki bentuk  sebagai asam  lemah. Jenis asam dalam hujan  ini  sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam  tanah  yang  dibutuhkan  oleh  tumbuhan  dan  binatang. Hujan  pada  dasarnya memiliki  tingkat keasaman berkisar pH 5, apabila hujan terkontaminasi dengan karbon dioksida dan gas klorine yang bereaksi  serta  bercampur  di  atmosfir sehingga  tingkat  keasaman  lebih  rendah  dari  pH  5,  disebut dengan hujan asam.
2. Penyebab Hujan Asam
Pada dasarnya Hujan asam disebabkan oleh 2 polutan udara, Sulfur Dioxide (SO2) dan nitrogen oxides (NOx) yang keduanya dihasilkan melalui pembakaran. Akan tetapi sekitar 50% SO2 yang ada di atmosfer diseluruh dunia  terjadi secara alami, misalnya dari  letusan gunung berapi maupun kebakaran hutan  secara  alami.  Sedangkan  50%  lainnya  berasal  dari  kegiatan  manusia,  misalnya  akibat pembakaran BBF,  peleburan  logam dan  pembangkit  listrik. Minyak  bumi mengadung  belerang antara 0,1%  sampai 3% dan batubara  0,4%  sampai 5%. Waktu BBF di  bakar, belerang  tersebut beroksidasi menjadi belerang dioksida  (SO2) dan  lepas di udara. Oksida belerang  itu selanjutnya berubah menjadi asam sulfat (Soemarwoto O, 1992).
3. Dampak Hujan Asam
Terjadinya hujan  asam harus diwaspadai  karena dampak  yang ditimbulkan  bersifat  global dan dapat  menggangu  keseimbangan  ekosistem.  Hujan  asam  memiliki  dampak  tidak  hanya  pada lingkungan biotik, namun juga pada lingkungan abiotik, antara lain :
a.Danau
Kelebihan  zat asam pada danau akan mengakibatkan sedikitnya  species yang bertahan. Jenis Plankton dan invertebrate merupakan mahkluk yang paling pertama mati akibat pengaruh pengasaman. Apa  yang  terjadi  jika  didanau memiliki  pH  dibawah  5,  lebih  dari  75 %  dari  spesies  ikan  akan  hilang (Anonim, 2002). Ini disebabkan oleh pengaruh rantai makanan, yang secara signifikan berdampak pada keberlangsungan  suatu  ekosistem.  Tidak  semua  danau  yang  terkena  hujan  asam  akan  menjadi pengasaman,  dimana  telah  ditemukan  jenis  batuan  dan  tanah  yang  dapat  membantu  menetralkan keasaman.
b.Tumbuhan dan hewan
Hujan  asam  yang  larut  bersama  nutrisi  didalam  tanah  akan  menyapu  kandungan  tersebut sebelum  pohon-pohon  dapat  menggunakannya  untuk  tumbuh.  Serta  akan  melepaskan  zat  kimia beracun seperti aluminium, yang akan bercampur didalam nutrisi. Sehingga apabila nutrisi  ini dimakan oleh  tumbuhan  akan  menghambat  pertumbuhan  dan  mempercepat  daun  berguguran,  selebihnya pohon-pohon akan terserang penyakit, kekeringan dan mati.Sebagaimana  tumbuhan, hewan  juga memiliki ambang  toleransi  terhadap hujan asam. Spesies hewan  tanah  yang  mikroskopis  akan  langsung  mati  saat  pH  tanah  meningkat  karena  sifat  hewan mikroskopis adalah sangat  spesifik dan  rentan  terhadap perubahan  lingkungan  yang ekstrim. Spesies hewan  yang  lain  juga  akan  terancam  karena jumlah  produsen  (tumbuhan)  semakin  sedikit. Berbagai penyakit juga akan terjadi pada hewan karena kulitnya terkena air dengan keasaman tinggi. Hal ini jelas akan menyebabkan kepunahan spesies.
c. Kesehatan Manusia
Dampak deposisi asam  terhadap kesehatan  telah banyak diteliti, namun belum ada yang nyata berhubungan  langsung dengan  pencemaran udara  khususnya oleh senyawa Nox dan SO2. Kesulitan yang  dihadapi  dkarenakan  banyaknya  faktor  yang  mempengaruhi  kesehatan  seseorang,  termasuk faktor  kepekaan  seseorang terhadap  pencemaran  yang  terjadi. Misalnya  balita,  orang  berusia  lanjut, orang dengan  status  gizi  buruk  relatif  lebih  rentan  terhadap  pencemaran udara  dibandingkan  dengan orang yang sehat.
Berdasarkan  hasil  penelitian,  sulphur  dioxide  yang  dihasilkan  oleh  hujan  asam  juga  dapat bereaksi secara kimia didalam udara, dengan  terbentuknya partikel halus suphate, yang mana partikel halus ini akan mengikat dalam paru-paru yang akan menyebabkan penyakit pernapasan. Selain itu juga dapat  mempertinggi  resiko  terkena kanker  kulit  karena  senyawa  sulfat  dan  nitrat mengalami  kontak langsung dengan kulit.
d.Korosi
Hujan asam  juga dapat mempercepat proses pengkaratan dari beberapa material  seperti batu kapur, pasirbesi, marmer, batu pada diding beton serta logam. Ancaman serius juga dapat  terjadi pada bagunan  tua  serta monument  termasuk  candi  dan  patung. Hujan  asam dapat merusak batuan  sebab akan  melarutkan  kalsium  karbonat,  meninggalkan  kristal  pada  batuan  yang  telah  menguap.  Seperti halnya sifat kristal semakin banyak akan merusak batuan.

BAB III
KESIMPULAN
Kandungan  Sulfur  dan  persenyawaannya  dalam  batubara  harus  dihilangkan  agar  tidak memberikan  dampak  yang  buruk  bagi  lingkungan  baik  itu  hujan  asam  maupun  proses  korosi. Proses penghilangan  kandungan  sulfur  dalam  batubara  dapat  dilakukan  dengan metode  kimia,  biologi,  dan  fisik. Teknologi Desulpurisasi pada Pembangkit Listrik yaitu Flue Gas Desulfurization (FGD)  yang  menghasilkan  produk  samping  gypsum  dari  sulfur tersebut.

2 comments:

  1. maap ingin bertanya, apa dalam penelitian ini. Proses desulfurisasi terhadap sulfur tidak mempengaruhi kualitas dari batubara tersebut? mungkin dibagian kalorinya?

    ReplyDelete
  2. referensinya ambil di mana?

    ReplyDelete