BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan pemakaian batubara hingga saat ini semakin meningkat. Hal itu didukung oleh adanya program pemerintah yang menetapkan batubara sebagai sumber energi alternatif utama. Sejalan dengan perkembangan pemanfaatan batubara di Indonesia, muncul pula beberapa kendala yang menghambat perkembangan tersebut. Kendala utama tersebut adalah adanya gas SO2 hasil pembakaran batubara yang dapat menimbulkan pencemaran udara. Untuk mengurangi gas SO2 ini dapat dilakukan dengan mengurangi kandungan sulfur sebelum batubara dibakar (desulfurisasi) atau dengan mengurangi kandungan sulfur setelah batubara dibakar (flue gas desulfurization).
Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Sulfur batubara juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan.. Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal combustionmelalui desulfurisasi batubara
Salah satu teknologi konversi energi adalah pembangkit tenaga listrik. Penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik akan dapat meningkatkan emisi dari partikel SO2, NOX, dan CO2. saat ini bahan bakar pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil, salah satunya adalah batubara. Penggunaan batubara untuk bahan baker pembangkit listrik diperkirakan akan terus meningkat. Meskipun kandungan sulfur batubara Indonesia relative kecil tetapi penggunaan dalam jumlah besar akan dapat meningkatkan emisi SO2 sehingga dapat berdampak negative terhadap manusia dan lingkungan
Dalam hubungannya dengan penggunaan energi, terus dilakukan inovasi pada teknologi yang memproduksi, mengkonversi, menyalurkan, dan menggunakan energi sehingga diperoleh teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Batubara
Kemajuan pesat teknologi industri khususnya sejak akhir tahun 1950-an membuat konsumsi energi meningkat sangat pesat. Hal ini membuat pemakaian bahan bakar fosil (minyak bumi, gas alam,batubara) secara besa-besaran tidak terhindarkan. Bahan bakar fosil yang mudah dieksplorasi dandapat diperoleh dalam jumlah besar dengan biaya yang tidak terlalu tinggi menjadi sumber energi utama dunia selama berpuluh tahun. Dari data akhir 1990-an, peta sumber energi dunia adalah sebagai berikut :
Sumber Energi | Persentasi | Available Years |
Oil | 38.6 % | 45 |
Coal | 27.3 % | 230 |
Natural Gas | 21.6 % | 65 |
Water Power | 6.7 % | - |
Nuclear Power | 5.7 % | 43 (uranium235) |
New Energy and Others | 0.1 % | |
(source: Clean Coal Science Handbook, 1995 available years dihitung dengan asumsi pemakaian energi sama dengan pada saat data dibuat t ermasuk dalam New Energy adalah: plasma, fuel cell, solar cell, danlain-lain.)
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ketergantungan terhadap bahan bakar fosil tidak dapat dielakkan paling tidak dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang. Tetapi pemakaian bahanbakar fosil secara besar-besaran juga membawa dampak yang sangat serius terhadap lingkungan terutama isu global warming dan acid rain. Melihat urgensi teknis pembakaran bahan bakar fosil yang clean untuk meredam isu- isu lingkungan tsb, dipandang perlu untuk mengembangkan sistem pembakaran yang baru dan lain dari yang konvensional.Batubara memiliki keunggulan dibanding bahan bakar fosil lainnya, yaitu:
1. Jumlah batubara yang economically exploitable lebih banyak
2. Distribusi batubara di seluruh dunia lebih merata.
Kelemahan Batubara :
1. Karena komposisi coal adalah CHONS + Ash, coal identik dengan bahan bakar yang kotor dan tidak ramah lingkungan.
2. Dibanding bahan bakar fosil lainnya, jumlah kandungan C per mol dari batubara jauh lebih besar.Hal ini meyebabkan pengeluaran CO2 dari batubara juga jauh lebih banyak. Demikian juga dengan kandungan Sulfur (S) dan Nitrogen (N) nya yang bila keluar ke udara bebas bisa menjadi H2SO4 dan H2NO3 yang merupakan penyebab hujan asam.
2.2 Teknologi desulfurisasi batubara
Dalam proses penangkapan unsur ‘S’ atau desulfurisasi batubara dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yang berbeda yaitu secara :
1. Kimia
2. Biologi
3. Fisik
Penghilangan unsur S dalam batubara juga dapat diaplikasikan sebelum pembakaran berlangsung, sesudah pembakaran ataupun ketika pembakaran batubara berlangsung. Berikut ini merupakan contoh penghilangan unsur S dalam batubara dalam furnace ketika pembakaran berlangsung.Untuk "menangkap” S, kedalam furnace disemburkan bubuk kapur CaCO3 yang disebut sorbent.
Salah satu alasan pemilihan CaCO3 adalah harganya yang murah dan mudah diperoleh. Proses yang terjadi di dalam furnace adalah sebagai berikut :
1. Desulfurization (De-SOx) Reaction :
CaCO3 → CaO + CO2
CaO + SO2+ ½ O2 → CaSO4 (solid)
( S telah "tertangkap" dalam bentuk endapan )
2. Di suhu tinggi (di atas 1300˚ C) terjadi reaksi berikut:
CaSO4 → CaO + SO2+ ½ O2
( Hal ini menyebabkan De-SOx efisiensi berkurang drastis )
2.2.1 Desulfurisasi Batubara Dengan Proses Kimia
1. Tujuan Desulfurisasi Batubara Dengan Proses Kimia bertujuan untuk :
A. Untuk menghasilkan batubara yang dapat dibakar secara langsung tanpa megalami proses desulfurisasi pada gas buang.
B. Untuk mengurangi gas cleaning setelah proses gasifikasi batubara.
2. Tahapan proses desulfurisasi secara kimia yaitu:
a. Oksidative ( temperatur penguraian batubara dibawah 400oC )
1). Zat Pengoksidasi
Pada proses oksidasi untuk menghilangkan sulfur yang terkandung dalam batubara menggunakan zat pengoksidasi sebagai berikut:
a) Metal ions (Fe+3, Hg+2, Ag+)
b) Strong acids (HNO3 + HClO4)
c) O2, Cl2, SO2, H2O2 dan udara.
2). Meyers Process:
Metode yang digunakan dalam proses oksidasi ini yaitu Metode Meyer yang telah dikembangkan. Proses tersebut berdasarkan oksidasi kandungan sulfur bentuk pirit dalam batubara dengan menggunakan larutan Ferric sulfate panas, tanpa menghilangkan asam organik.
a) Batubara : berukuran 1.4 mm
b) Pereaksi : Fe2(SO4)3
c) Temperature : 100-130oC
d) Waktu : 5-6 jam
e) Tekanan : 3-6 atm
f) Pirit dioksidasikan menjadi ferrous sulfate, H2SO4 dan unsur S.
g) Penghilangan Pyritic-S : 83-99 %
h) As, Cd, Mn, Pb dan Zn juga dihilangkan.
3). Reaksi oksida desulfurisasi sebagai berikut:
5FeS2 + 23Fe2(SO4)3 + 24H2O→51FeSO4+ 4S
O2 ditambahkan untuk mengoksidasi FeSO4 agar kembali menjadi Fe2(SO4)3
4FeSO4 + 2H2SO4 + O2 →2Fe2(SO4)3 + 2H2O
Netralısasi batu kapur untuk menghilangkan kelebihan sulfat
Fe2(SO4)3 + CaO→3CaSO4 + Fe2O3
FeSO4 + CaO →CaSO4 + FeO
4). Reaksi oksidade sulfurisasi secara umum :
2FeS2 + 7O2 + 2H2O→ 2FeSO4 + 2H2SO4
4FeSO4 + O2 + 2H2SO4 →2Fe2(SO4)3 + 2H2O
Fe2(SO4)3 + 3H2O → Fe2O3 + 3H2SO4
b. Caustic ( temperatur penguraian batubara dibawah 400oC )
1). Reaksi Desulfurisasi menggunakan caustic :
2FeS2 + 6NaOH→2NaFeO2 + Na2S + 2H2O + O2
Coal-S + 2NaOH →Coal-O + Na2S + H2O
2). Molten Caustic Leaching (MCL)
Proses MCL konvensional menggunakan campuran NaOH + KOH (1:1), atau NaOH + KOH + Ca(OH)2 pada temperatur 370-390 oC selama 2-3 jam.
c. Reduction (proses hidrosulfurisasi pada temperatur > 440 oC).
Reaksi yang terjadi pada proses reduksi adalah sebagai berikut :
FeS2 + H2 →FeS(s) + H2S (g)
FeS + H2 →Fe + H2S (g)
3. Kekurangan proses desulfurisasi secara kimia:
a) Biaya proses tinggi.
b) Severe leaching conditions (100-400oC).
c) Energy intensive.
d) Penambahan material ke dalam batubara selain dapat mengurangi kandungan ash dan sulfur dapat juga berpotensi menjadi polutan.
e) Banyak di temukan permasalahan pengendalian polusi, korosi dan pembuangannya.
2.2.2. Desulfurisasi Batubara Dengan Secara biologi
Kandungan sulfur dalam batubara dapat dihilangkan dengan metode biologi yang dikenal dengan Mikrobial desulfurization. Proses desulfurisasi secara mikrobiologi dapat dilakukan dengan cara pengoksidasian pyrite, unsur S, dan S-organik oleh bakteri. Beberapa mikroorganisme yang mampu mengoksidasi Sulfur, yaitu:
Acidithiobacillus ferrooxidans, (for FeS2).
Acidithiobacillus thiooxidans, (for FeS2) .
Leptospirillum ferrooxidans, (for FeS2).
Sulfolobus acidocalderius (for FeS2).
Rhodopseudomonas spheriodes (for organic-S).
1. Reaksi
2. Proses konversi batubara menggunakan biotechnolgy
2.2.3 Physical desulphurization (coal preparation)
Desulfurisasi secara fisika memiliki peran penting dalam pengurangan kandungan sulfur dan abu dalam batubara, hanya dapat menghilangkan pyritic sulfur dan mineral lainnya.
1. Advanced novel coal beneficiation techniques
2. Microcel (column flotation)
2.3 Teknologi Desulpurisasi pada Pembangkit Listrik
Flue Gas Desulfurization (FGD)
Selain memperbaiki efisiensi dan sistim pembakaran batubara, sebagai upaya untuk mencegah berlanjutnya krisis ekologi dewasa ini juga telah dikembangkan sistim peralatan berteknologi tinggi yang mampu memisahkan gas-gas polutan seperti SOx dan NOx dalam gas buang dari pembakaran batubara. Salah satu metode untuk memisahkan polutan SOx dalam gas buang adalah dengan teknik flue-gas desulfurization (FGD). Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnya "didinginkan" dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistim FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam.
Selain dapat mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam, gipsum yang dihasilkan melalui proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misal untuk bahan bangunan. Sebagai bahan bangunan, gipsum tampil dalam bentuk papan gipsum ( gypsum boards ) yang umumnya dipakai sebagai plafon atau langit-langit rumah (ceiling - 4 – boards), dinding penyekat atau pemisah ruangan ( partition boards ) dan pelapis dinding ( wall boards ). Amerika Serikat merupakan negara perintis dalam memproduksi gipsum sintetis ini. Pabrik wallboard dari gipsum sintetis yang pertama di AS didirikan oleh Standard Gypsum LLC mulai November tahun 1997 lalu. Lokasi pabriknya berdekatan dengan stasiun pembangkit listrik Tennessee Valley Authority (TVA) di Cumberland yang berkapasitas 2600 Mega Watt.
Produksi gipsum sintetis merupakan suatu terobosan yang mampu mengubah bahan buangan yang mencemari lingkungan menjadi suatu produk baru yang bernilai ekonomi. Sebagai bahan wallboard, gipsum sintetis yang diproduksi secara benar ternyata memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan gipsum yang diperoleh dari penambangan. Gipsum hasil proses FGD ini memiliki ukuran butiran yang seragam.
Mengingat dampak positifnya cukup besar, tidak mustahil suatu saat nanti, setiap PLTU batubara akan dilengkapi dengan pabrik gipsum sintetis.
Jenis/tipe FGD
Sistem FGD dapat diklasifikasikan ke dalam 2 jenis, yaitu:
1. Sistem basah, Wet Flue Gas Desulfurization
2. Sistem kering, Dry Fle Gas Desulfurization
2.4. Dampak dari pembakaran batubara
Batubara yang masih mengandung elemen sulfur, nitrogen baik yang terikat sebagai senyawa organik, anorganik, atau unsur bebasnya akan menghasilkan polutan ( Sox dan Nox ) pada saat pembakaran. Akibat dari polutan itu diantaranya adalah hujan asam.
1. Hujan Asam
Hujan asam adalah suatu masalah lingkungan yang serius yang benar-benar difikirkan oleh manusia. Ini merupakan masalah umum yang secara berangsur-angsur mempengaruhi kehidupan manusia. Istilah Hujan asam pertama kali diperkenalkan oleh Angus Smith ketika ia menulis tentang polusi industri di Inggris (Anonim, 2001). Tetapi istilah hujan asam tidaklah tepat, yang benar adalah deposisi asam. Deposisi asam ada dua jenis, yaitu :
a. Deposisi kering
Deposisi kering ialah peristiwa terkenanya benda dan mahluk hidup oleh asam yang ada dalam udara. Ini dapat terjadi pada daerah perkotaan karena pencemaran udara akibat kendaraan maupun asap pabrik. Selain itu deposisi kering juga dapat terjadi di daerah perbukitan yang terkena angin yang membawa udara yang mengandung asam. Biasanya deposisi jenis ini terjadi dekat dari sumber pencemaran.
b. Deposisi basah
Deposisi basah ialah turunnya asam dalam bentuk hujan. Hal ini terjadi apabila asap di dalam udara larut di dalam butir-butir air di awan. Jika turun hujan dari awan tadi, maka air hujan yang turun bersifat asam. Deposisi asam dapat pula terjadi karena hujan turun melalui udara yang mengandung asam sehingga asam itu terlarut ke dalam air hujan dan turun ke bumi. Asam itu tercuci atau wash out. Deposisi jenis ini dapat terjadi sangat jauh dari sumber pencemaran. Hujan secara alami bersifat asam karena Karbon Dioksida (CO2) di udara yang larut dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang. Hujan pada dasarnya memiliki tingkat keasaman berkisar pH 5, apabila hujan terkontaminasi dengan karbon dioksida dan gas klorine yang bereaksi serta bercampur di atmosfir sehingga tingkat keasaman lebih rendah dari pH 5, disebut dengan hujan asam.
2. Penyebab Hujan Asam
Pada dasarnya Hujan asam disebabkan oleh 2 polutan udara, Sulfur Dioxide (SO2) dan nitrogen oxides (NOx) yang keduanya dihasilkan melalui pembakaran. Akan tetapi sekitar 50% SO2 yang ada di atmosfer diseluruh dunia terjadi secara alami, misalnya dari letusan gunung berapi maupun kebakaran hutan secara alami. Sedangkan 50% lainnya berasal dari kegiatan manusia, misalnya akibat pembakaran BBF, peleburan logam dan pembangkit listrik. Minyak bumi mengadung belerang antara 0,1% sampai 3% dan batubara 0,4% sampai 5%. Waktu BBF di bakar, belerang tersebut beroksidasi menjadi belerang dioksida (SO2) dan lepas di udara. Oksida belerang itu selanjutnya berubah menjadi asam sulfat (Soemarwoto O, 1992).
3. Dampak Hujan Asam
Terjadinya hujan asam harus diwaspadai karena dampak yang ditimbulkan bersifat global dan dapat menggangu keseimbangan ekosistem. Hujan asam memiliki dampak tidak hanya pada lingkungan biotik, namun juga pada lingkungan abiotik, antara lain :
a.Danau
Kelebihan zat asam pada danau akan mengakibatkan sedikitnya species yang bertahan. Jenis Plankton dan invertebrate merupakan mahkluk yang paling pertama mati akibat pengaruh pengasaman. Apa yang terjadi jika didanau memiliki pH dibawah 5, lebih dari 75 % dari spesies ikan akan hilang (Anonim, 2002). Ini disebabkan oleh pengaruh rantai makanan, yang secara signifikan berdampak pada keberlangsungan suatu ekosistem. Tidak semua danau yang terkena hujan asam akan menjadi pengasaman, dimana telah ditemukan jenis batuan dan tanah yang dapat membantu menetralkan keasaman.
b.Tumbuhan dan hewan
Hujan asam yang larut bersama nutrisi didalam tanah akan menyapu kandungan tersebut sebelum pohon-pohon dapat menggunakannya untuk tumbuh. Serta akan melepaskan zat kimia beracun seperti aluminium, yang akan bercampur didalam nutrisi. Sehingga apabila nutrisi ini dimakan oleh tumbuhan akan menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran, selebihnya pohon-pohon akan terserang penyakit, kekeringan dan mati.Sebagaimana tumbuhan, hewan juga memiliki ambang toleransi terhadap hujan asam. Spesies hewan tanah yang mikroskopis akan langsung mati saat pH tanah meningkat karena sifat hewan mikroskopis adalah sangat spesifik dan rentan terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim. Spesies hewan yang lain juga akan terancam karena jumlah produsen (tumbuhan) semakin sedikit. Berbagai penyakit juga akan terjadi pada hewan karena kulitnya terkena air dengan keasaman tinggi. Hal ini jelas akan menyebabkan kepunahan spesies.
c. Kesehatan Manusia
Dampak deposisi asam terhadap kesehatan telah banyak diteliti, namun belum ada yang nyata berhubungan langsung dengan pencemaran udara khususnya oleh senyawa Nox dan SO2. Kesulitan yang dihadapi dkarenakan banyaknya faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang, termasuk faktor kepekaan seseorang terhadap pencemaran yang terjadi. Misalnya balita, orang berusia lanjut, orang dengan status gizi buruk relatif lebih rentan terhadap pencemaran udara dibandingkan dengan orang yang sehat.
Berdasarkan hasil penelitian, sulphur dioxide yang dihasilkan oleh hujan asam juga dapat bereaksi secara kimia didalam udara, dengan terbentuknya partikel halus suphate, yang mana partikel halus ini akan mengikat dalam paru-paru yang akan menyebabkan penyakit pernapasan. Selain itu juga dapat mempertinggi resiko terkena kanker kulit karena senyawa sulfat dan nitrat mengalami kontak langsung dengan kulit.
d.Korosi
Hujan asam juga dapat mempercepat proses pengkaratan dari beberapa material seperti batu kapur, pasirbesi, marmer, batu pada diding beton serta logam. Ancaman serius juga dapat terjadi pada bagunan tua serta monument termasuk candi dan patung. Hujan asam dapat merusak batuan sebab akan melarutkan kalsium karbonat, meninggalkan kristal pada batuan yang telah menguap. Seperti halnya sifat kristal semakin banyak akan merusak batuan.
BAB III
KESIMPULAN
Kandungan Sulfur dan persenyawaannya dalam batubara harus dihilangkan agar tidak memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan baik itu hujan asam maupun proses korosi. Proses penghilangan kandungan sulfur dalam batubara dapat dilakukan dengan metode kimia, biologi, dan fisik. Teknologi Desulpurisasi pada Pembangkit Listrik yaitu Flue Gas Desulfurization (FGD) yang menghasilkan produk samping gypsum dari sulfur tersebut.
maap ingin bertanya, apa dalam penelitian ini. Proses desulfurisasi terhadap sulfur tidak mempengaruhi kualitas dari batubara tersebut? mungkin dibagian kalorinya?
ReplyDeletereferensinya ambil di mana?
ReplyDelete