Monday, June 20, 2011

Agromineral dalam Pertanian

Agromineral dalam Pertanian
Di masa lalu, tanah mendapat kesempatan beristirahat untuk memulihkan dan secara alamiah menambah nutrisi mereka sendiri setelah masa penanaman dan panen. Akan tetapi masa kosong tersebut sekarang dipercepat, karena tuntutan kebutuhan pangan yang makin meningkat, sehingga tanah ditekan untuk berproduksi terus-menerus. Tekanan terhadap lahan pertanian ini secara pasti menurunkan kemampuan lahan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, karena disamping pemindahan nutrisi-nutrisi dari tanah ke tanaman melalui panen yang berulang, terdapat proses lain termasuk pelarutan, penguapan, serta erosi yang terlalu tinggi, sehingga banyak nutrisi yang ikut menghilang dan tidak mencukupi kebutuhan panen berikutnya.
Untuk memperbaiki nutrisi tanah yang dikeluarkan, diperlukan penambahan nutrisi, yang umumnya dilakukan petani dengan jalan pemupukan, baik dengan pupuk organik (pupuk kandang dan kompos), pupuk buatan, atau beberapa alternatif lain. Pada umumnya petani memilih menggunakan pupuk buatan, karena mereka menganggap pemakaian pupuk buatan paling praktis dan menguntungkan, karena hasilnya dapat dilihat dengan cepat. Akan tetapi para petani jarang dapat menggunakannya sesuai aturan yang berlaku maupun pada saat yang tepat, sehingga tanah lebih cepat menjadi gersang. Pupuk larut air membantu mempercepat penyerapan nutrisi dari tanah ke tanaman, akibatnya disamping lebih cepat kehilangan kandungan nutrisinya, struktur jaringan tanah juga akan rusak.
Sesungguhnya, agar aliran nutrisi baru dapat dipasok secara substansial, selain dengan pupuk organik, para petani dapat juga menggunakan sumber daya agromineral yang ditemukan di sekitar areal pertanian. Beberapa batuan dan mineral yang terbentuk di alam mengandung nutrisi untuk tanaman, terdapat secara terkonsentrasi maupun tersebar, sehingga dapat digunakan sebagai pupuk alternatif dan/atau memperbaiki struktur tanah. Antara lain batuan fosfat, batuan pembawa potasium, gipsum, dolomit, batugamping, dan beberapa jenis mineral lain termasuk dalam katagori ini.
Beberapa contoh batuan dan mineral telah dikenal sebagai agromineral yang terkonsentrasi sebagai endapan ekonomis adalah:
Ÿ         Batuan fosfat (phosphate rocks /PRs) dengan apatit sebagai mineral fosfat utama,
Ÿ         Fosfat guano, senyawa kompleks pembawa P dan N,
Ÿ         Silvit (KCl), dan garam-garam komplek pembawa K,
Ÿ         K-silikat, seperti mika, glukonit, dan bat volkanik mengandung K, dan K-zeolit,
Ÿ         Sulfur, sulfida (seperti pirit) dan sulfat (gipsum),
Ÿ         Batugamping dan dolomit sebagai pembawa kalsium dan magnesium karbonat,
Ÿ         Beberapa mineral dan batuan silikat yang digunakan untuk menyimpan nutrisi (zeolit) atau menyimpan kelembaban (batuapung).
Tidak semua agromineral yang disebutkan diatas terdapat di Indonesia, karena sebagai negara kepulauan busur saltpeter tentu tidak ada, juga endapan garam kompleks pembawa-K. Akan tetapi terdapat beberapa fosfat guano, sedangkan fosfat sedimenter belum pernah ditemukan. Selain itu, batuan pembawa-K ditemukan dalam batuan volkanik, gipsum terdapat dalam jumlah terbatas, sedangkan batugamping dan beberapa batuan lain akan akan dibahas potensinya dalam bab berikut ini beserta potensinya.
Potensi Agromineral di Indonesia
Secara geologi, sebagian besar daratan Indonesia merupakan rangkaian kepulauan busur, dan secara agronomi merupakan tanah yang cukup subur, karena rempah-rempah volkanik merupakan sumber nutrisi bagi tanaman. Agromineral yang berasosiasi dengan batuan volkanik atau batuan gunungapi adalah obsidian, perlit, batuapung, dan belerang. Demikian pula, dalam cekungan-cekungan sedimenter dapat ditemukan beberapa jenis agromineral, termasuk batugamping, dolomit, dapat merupakan sumber daya agromineral. Beberapa jenis sumber daya agromineral yang terdapat di Indonesia diuraikan di bawah ini.
Batuan Fosfat
Batuan fosfat merupakan sumber inorganik dari fosfor (P), salah satu nutrisi agronomi yang bersama dengan nitrogen (N) dan potassium (kalium/K) sangat penting bagi pertumbuhan secara umum, termasuk pembentukan protein, akar, mempercepat kematangan bijih, meningkatkan produk bijih-bijihan dan umbi-umbian, serta memperkuat tubuh tanaman. Oleh karena itu kekurangan fosfor mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, akar sangat sedikit, daun menguning sebelum waktunya dan secara keseluruhan pertumbuhan akan terhambat. Selain itu pada tanah tropis, kekurangan P merupakan hal biasa, juga kekurangan kalsium (Ca), keasaman tanah tinggi, keracunan Al, dan tipis, sehingga jika tidak cepat diatasi, tanah akan menjadi tandus.
Efektifitas batuan fosfat secara agronomik tergantung pada beberapa faktor, yaitu faktor batuannya sendiri, faktor kondisi tanah, jenis tanaman, dan pengaturan pemupukan. Faktor batuan disebabkan oleh genesa dari berbagai batuan dan mineral pembawa fosfat, antara lain endapan fosfat sedimen marin, magmatik, metamorfik, fosfat biogenik dan endapan fosfat karena pelapukan. Masing-masing jenis endapan fosfat dicirikan oleh sifat mineralogi, kimia dan struktur yang berbeda, sehingga kecepatan reaksi batuan terhadap tanahpun berbeda. Reaktivitas terbaik adalah batuan fosfat sedimen marin. Disamping itu, endapan fosfat marin ini pada umumnya terbentuk sebagai endapan yang ekonomis, sehingga hampir seluruh pupuk fosfat di dunia berasal dari sumber daya batuan fosfat marin. Pengembangan batuan fosfat untuk pupuk, rata-rata 75% berasal dari endapan sedimenter atau batuan fosfat marin, 12-20% dari batuan beku dan endapan residu, dan hanya 1-2% dari sumber daya biogenik (fosfat guano), hampir semua jenis sumber daya batuan fosfat terdiri dari berbagai bentuk mineral apatit. Selain apatit, telah dikenal lebih dari 200 jenis mineral fosfat yang telah diketahui, akan tetapi kurang popular dan kurang bernilai ekonomis.Beberapa kelompok mineral fosfat primer diantaranya adalah:
·        Fluor-apatit (Ca10(PO4)F2) terdapat di lingkungan batuan magmatik dan metamorf, termasuk karbonatit dan mika-piroksenit.
·        Hidroksi-apatit (Ca10(PO4)(OH)2), terdapat pada lingkungan batuan metamorf dan batuan beku, tetapi juga dalam endapan biogenik, misalnya endapan tulang.
·        Karbonat-hidroksi-apatit (Ca10(PO4,CO3)6(OH)2) terutama dijumpai di pulau dan gua-gua sebagai bagian dari kotoran burung dan kelelawar, guano.
·        Frankolit (Ca10-x-yNaxMgy(PO4)6-z(CO3)F0-4zF2) merupakan apatit yang tersubstitusi oleh karbonat, terutama terjadi pada lingkungan marin, dan sedikit sekali sebagai hasil pelapukan, misalnya dari karbonatit.
·        Kelompok krandalit, variskit, dan strengit yang merupakan Fe- dan Al-fosfat yang ditemukan pada lingkungan sekunder pelapukan.
Endapan fosfat yang ditemukan di Indonesia adalah fosfat guano, yang terbentuk dari tumpukan sekresi (kotoran) burung atau kelelawar yang larut oleh air (hujan) atau air tanah dan meresap ke dalam tubuh batugamping, bereaksi dengan kalsit untuk membentuk hidroksil fluorapatit atau Ca5(PO4)3(OH,F) dalam rekahan atau menyusup diantara perlapisan batugamping, maupun terendapkan di dasar batugamping.Umumnya terdapat secara terbatas dalam gua-gua gamping, terutama di Pegunungan Selatan Jawa, Gresik, Cepu dan Pati, serta di Pulau Madura. Pada umumnya endapan ini kurang bernilai komersial karena hanya merupakan urat-urat memanjang yang tidak menerus, dengan ketebalan beberapa cm sampai 20 cm, walaupun pada beberapa lokasi dapat mencapai 50 cm. Akan tetapi endapan jenis ini termasuk batuan fosfat yang cukup reaktif, sehingga dapat sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan lokal, atau dikembangkan dalam skala kecil. Endapan fosfat tipe guano yang telah teridentifikasi di Indonesia tersebar di 60 lokasi, sekitar 48 lokasi diantaranya ditemukan di Pulau Jawa dan Madura. Kadar P2O5 tercatat antara 4-40%, akan tetapi pada umumnya diatas 15%. Total sumber daya fosfat Indonesia hanya sekitar 20 juta ton, padahal konsumsi fosfat lebih dari 1 juta ton setahun (DIM, 2004).
Menurut literatur, jenis endapan fosfat guano jarang ditemukan dalam jumlah besar, bahkan di dunia total sumber dayanya hanya 2% dari seluruh sumber daya fosfat yang ada. Fosfat guano yang bernilai komersial di dunia baru diketahui di Pulau Christmast dan Pulau Nauru. Produksi fosfat Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan domestik, sehingga produsen pupuk harus mengimpor fosfat dari beberapa negara produsen fosfat, seperti USA, Maroko, dan Cina.
Batuan pembawa kalium
Unsur kalium/potassium (K) sangat penting bagi pertumbuhan secara umum, bersama dengan nitrogen (N) dan fosfor (P). Sumber K (kalium/potassium) alam untuk produksi pupuk umumnya berasal dari endapan potas sedimenter yang terdiri dari silvit (KCl) atau senyawa kompleks (K,Mg)-klorit dan -sulfat. Pupuk-K ini larut air sehingga cocok untuk bertindak sebagai pupuk-K dan K-Mg. Tanaman sendiri menyerap K secara alamiah dari pelapukan mineral K, kompos dan sisa tumbuhan. Akan tetapi mineral pembawa-K yang paling umum adalah K-felspar, leusit, biotit, phlogopit, dan glukonit, serta mineral lempung (illit), sedangkan batuan silikat kaya-K yang cepat lapuk adalah batuan volkanik pembawa leusit.
Banyak sumber K yang mudah larut diperdagangkan sebagai pupuk-K, misalnya ‘muriate of potash’ (KCl), akan tetapi garam tersebut dapat menimbulkan masalah pada tanaman yang peka terhadap garam. Sedangkan penggunaan mineral pembawa-K yang berstruktur silikat lebih dianjurkan, karena pupuk alam akan melepaskan nutrisi secara lambat untuk jangka panjang, termasuk batuan fosfat, biotit, flogopit, dan leusit yang secara berangsur melepaskan K dan Mg. Jika perlu, kecepatan pelapasan nutrisi dapat dipercepat, tetapi untuk beberapa tanaman yang memerlukan potasium dalam jumlah besar, seperti pisang, kelapa, dan karet, pelepasan K yang lambat tersebut bahkan menguntungkan.
Potasium dalam felspar (K-felspar) pada umumnya sangat resisten terhadap pelapukan, dimana ion K+ tidak mudah lepas sehingga sukar bagi tanaman untuk menyerapnya. Sebaliknya, dalam mika dan mineral lempung mikaan yang mempunyai struktur silikat lembaran, ion K terikat di antara lembaran bersama Mg2+ dan Fe2+ dalam octahedral, sehingga lebih mudah terlepas. Phlogopit dan biotit umumnya mengandung K2O>10%, 5-22% MgO dan 5-20% Fe dalam struktur silikat tetapi tidak siap pakai karena harus diasamkan.
Glukonit adalah K,Fe-hidromika yang juga mengandung K+, Na+, or Ca2+, serta Al atau Mg. Glaukonit umumnya terdapat dalam pasir glukonitan yang berwarna hijau, napalan dan lempungan yang tidak terkonsolidasi, dan diendapkan dalam lingkungan marin, dekat pantai dengan kecepatan lambat. Glaukonit yang bersih mengandung lebih dari 11% K2O, sedangkan pasir hijau yang kaya glukonit umumnya mengandung 5-9% K2O. Glaukonit secara spasial berasosiasi dengan akumulasi sedimen fosfat.
Di Indonesia, sumber daya mineral pembawa-K yang ada hanya batuan trakhitik dan riolitik yang baru tercatat di satu lokasi yaitu G. Kunyit, Lampung, sedangkan tuf riolitik tercatat di Desa Paga, Sikka, NTT. Selain itu, Formasi Tuf Toba yang berkomposisi riolitik di sekitar Danau Toba, juga tersebar cukup luas. Sayangnya K-felspar bukan agromineral yang diharapkan untuk dapat digunakan langsung. Pada beberapa lokasi K-felspar diusahakan untuk industri keramik.
Disamping itu juga terdapat batuan yang kaya leusit di sekitar G. Muria, Jepara, Jawa Tengah, yaitu batuan piroklastik, tephrit, lava basanit, leusitit dan syenit, akan tetapi potensinya belum dikaji. Namun beberapa perusahaan pernah dilaporkan mengusahakan batuan-batuan tersebut untuk industri keramik.
Beberapa lokasi lain, seperti G. Ringgit-Beser dan beberapa jenis batuan beku alkali di Kalimantan bagian tengah belum sempat diselidiki, sehingga belum dapat dievaluasi potensinya.
Agromineral untuk Pengkapuran
Di mana-mana keasaman tanah merupakan masalah yang biasa muncul sehubungan dengan turunnya hasil pertanian, termasuk negara-negara maju. Kecepatan pelarutan yang tinggi, batuan induk yang tidak sesuai, dan beberapa hal yang jarang terjadi, seperti pengasaman kimia secara kontinu seperti pembubuhan ammonium sulfat dalam jumlah besar. Masalah utama pada areal pertanian yang sangat asam adalah tidak cukup tingginya ion H+ dan penambahan konsentrasi Al3+ yang sangat beracun pada pH rendah, serta rendahnya tingkat pertukaran ion Ca2+. Masalah tersebut diatas pada umumnya ditangani dengan cara pengkapuran.
Semua material yang mengandung senyawa Ca dan Mg dapat digunakan sebagai bahan pengkapuran untuk menetralisir keasaman tanah, yaitu meningkatkan pH tanah yang pada dasarnya menambahkan Ca dan menurunkan Al. Batugamping dan dolomit merupakan material yang telah digunakan untuk pengkapuran selama berabad-abad, dan sampai sekarang juga masih digunakan di beberapa negara.
Di Indonesia, batugamping terdapat hampir di seluruh provinsi, bahkan kabupaten, sehingga penerapan batugamping/dolomit sebagai ‘agricultural lime’ (kapur pertanian) sudah sering dilakukan. Kadang petani memakai kapur tohor (‘quicklime’) yang reaktif sebagai bahan pengkapuran, yang merupakan hasil kalsinasi (‘lime burning’) batukapur pada suhu antara 900° and 1200°C.
Penggunaan batugamping/dolomit untuk pertanian masing-masing negara berbeda, tetapi berkisar dari beberapa beberapa ribu ton per bulan sampai hanya beberapa ton per musim tanam. Dalam hal penggunaan terhadap tanah dengan daya tahan rendah disarankan untuk menggunakan batugamping/dolomit tersebut secara langsung. Karena kapur padam dan kapur tohor (calcined and hydrated limes) lebih mudah diserap dan akan mempunyai efek ‘membakarÂ’ akar-akar tanaman jika ditaburkan tak lama sebelum benih ditaburkan atau terlalu dekat dengan bijih. Aplikasi batugamping mentah (uncalcined limestones) juga menghemat kayu, yang merupakan sumber energi utama untuk proses kalsinasi. Kebutuhan kapur atau batukapur/dolomit umumnya tergantung pada pH, konsentrasi Al3+ dan daya tahan tanah, akan tetapi biasanya antara 2-4 ton per hektar.
Batugamping merupakan bahan baku industri yang paling umum terdapat di Indonesia, paling tidak tersebar di 392 lokasi dari Provinsi Aceh sampai Papua dan diperkirakan total sumber dayanya adalah 2,1 trilyun ton, Sedangkan dolomit sampai akhir tahun 2003, baru tercatat di 24 lokasi dengan total sumber daya lebih dari 1,6 milyar ton. Dari seluruh sumber daya, hampir 30% diantaranya berada di NTT dan 30% di Jatim, 18% di Sulawesi Tenggara dan 18% di Aceh, sisanya terdapat di Sumatra Barat dan Jawa Tengah.
Akan sangat baik jika ada kerjasama untuk pengkapuran ini antara ilmuwan tanah, ahli geologi, dan teknisi pengolahan. Ilmuwan tanah membatasi yang keasamannya tinggi sehingga memerlukan material pengkapuran dan ahli geologi mencari sumber daya batugamping dan dolomit pertanian di dekat lahan yang memerlukan.

Gipsum
Gipsum merupakan agromineral yang paling umum digunakan untuk reklamasi tanah yang terinfeksi sodium (Shainberg et al. 1989), yaitu tanah alkalin hitam (‘black alkaline soilsÂ’) yang menyerap sodium dalam jumlah berlebih dalam mineral lempungnya. Tanah tersebut dicirikan oleh permukaan pecah-pecah dan secara fisik merupakan formasi yang impermeable, dan keras. Proses-proses pengerasan tanah dan perekahan pada tanah dapat diatasi dengan menyebarkan gipsum diatas permukaannya, memberikan kalsium terlarut untuk menggantikan sodium yang terserap pada mineral lempung.
Sulfur
Sulfur penting untuk semua tanaman, terutama untuk sintesa protein dan lemak, serta mempengaruhi pembentukan akar dan hijau daun. Kekurangan sulfur dalam tanah akan menyebabkan tanaman tampak menguning dan tidak mempunyai daya tumbuh. Kekurangan sulfur sebagian disebabkan oleh rendahnya S karena penebangan tanaman berat, penanaman yang intensif dan kurangnya daur ulang bahan organik, juga karena penggunaan pupuk S-bebas secara luas, seperti TSP, MAP, DAP, dan urea. Beberapa jenis tumbuhan memerlukan sulfur lebih tinggi dari yang lain, seperti tebu, tanaman biji yang kaya protein seperti cengkeh, dan kol. Sulfur (belerang) sebagai unsur ditemukan relatif sedikit di banyak daerah volkanik tetapi juga sebagai bagian dari formasi batuan sedimenter pembawa gipsum (CaSO4.2H2O) dan anhidrit-(CaSO4). Di Indonesia sulfur terdapat di sekitar kawah gunungapi, sebagai hasil sublimasi gas volkanik. Total sumber daya belerang Indonesia hanya 2,3 juta ton, kira-kira 75% diantaranya adalah sumber daya hipotetik, 11% sumber daya tereka dan 14% sumber daya terukur, tersebar di 16 lokasi. Di Jawa Barat sendiri tercatat mempunyai sumber daya belerang (sulfur) yang terbesar, yaitu 1,6 juta ton tersebar di 7 lokasi. Pada umumnya kadar belerang di Indonesia diketahui ±70% sulfur, berwarna kuning, dengan lempung sebagai pengotor. Sisanya terdapat di Provinsi Sumatra Utara, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara.
Sumber sulfur lain adalah pirit dan markasit (dua-duanya FeS2) terdapat dalam banyak formasi sedimenter dengan kemurnian yang bervariasi, dan sebagai penyusun minor endapan batubara keras. Â‘Pirit batubaraÂ’ adalah hasil upgrading dan pemurnian dari hard coals. Pirit juga mineral utama sulfida, terjadi bersama dengan banyak sulfida logam dasar, yang sering disisihkan bersama bijih logam berkadar rendah dan endapan pengotor (waste) pada palong tambang (tailing). Akan tetapi pirit belum pernah dianggap sebagai satu agromineral karena biasanya berasosiasi dengan logam pengotor yang cukup beracun, walaupun di India pernah berhasil untuk meningkatkan produk kacang-kacangan pada tanah karbonatan (Van Straaten, 2000).
Agromineral untuk Nutrisi Mikro
Nutrisi mikro diperlukan sedikit sekali oleh tanaman, akan tetapi jika berlebihan justru akan menjadi racun yang cukup mematikan. Termasuk dalam unsur mikro adalah boron, klorin, kobalt, tembaga, besi, mangan, molibden, dan seng. Beberapa mineral pembentuk batuan yang mengandung unsur nutrisi mikro dengan konsentrasi yang paling tinggi adalah:
–        Boron terdapat dalam turmalin, mineral lempung dan garam evaporasi seperti borak dan kolemanite di daerah gurun yang luas,
–        Khlorin adalah komponen primer dari garam-garam yang biasa ada, halit (NaCl), dan silvit (KCl),
–        Kobalt umumnya, dalam jumlah sedikit, dalam batuan-batuan ultrabasa,
–        Tembaga (Cu) adalah salah satu unsur dalam beberapa mineral sulfida, yaitu kalkopirit (CuFeS2), bornit (Cu5FeS4), kalkosit (Cu2S), atau terjadi dalam senyawa karbonat, yaitu malakhit Cu2(OH)2CO3 dan azurit Cu3(OH)(CO3)2,
–        Besi terdapat sebagai komponen silikat tertentu, dan merupakan unsur logam utama dalam Fe-oxida seperti hematit, magnetit, goethit/limonit, dan dalam sulfida (terutama pirit/FeS2),
–        Mangaan terdapat terutama sebagai oksida (pirolusit MnO2, hausmanit Mn3O4, manganit MnOOH), dan sedikit dalam senyawa Mn-karbonat dan dalam Mn-silikat,
–        Molibdenum terjadi sebagai sulfida (MoS2), dan jarang sebagai molibdit (MoO3) atau sebagai powellite (CaMoO4) dalam urat hidrothermal,
–        Seng (Zn) terjadi sebagai sulfida ZnS, karbonat (smithsonite ZnCO3) atau sedikit dalam magnetit dan silikat.
Akan tetapi, harus tetap diingat bahwa unsur-unsur tersebut hanya dibutuhkan sedikit sekali untuk memperbaiki kekurangan. Satu kg MoS2 (molibdenit), misalnya, mengandung ± 600 g Mo, yang berdasarkan perhitungan cukup untuk 10-20 hektar tanaman, karena rata-rata perlu 30-60 g total Mo per hektar. Sekarang, pupuk-Mo adalah Na- dan NH4+-molibdat yang diplikasikan baik dengan pupuk buatan atau setelah dibentuk mirip biji. Yang jelas, molibdat akan digunakan untuk suatu lingkungan teroksidasi agar tanaman dapat hidup. Disamping itu, untuk mengatasi kekurangan nutrisi mikro dapat juga dengan mencoba aplikasi dari buangan organik, yang pada umumnya mengandung mikronutrisi yang tinggi.
Sumber daya geologi untuk nutrisi mikro juga cukup beragam, yang paling mudah ditemukan adalah basal dan serpih hitam. Seperti di Afrika Selatan, basal merupakan material sisa (waste) penambangan basal dan ‘granit hitamÂ’ (dolerite). Van Straten (2002) melaporkan konsentrasi rata-rata nutrisi mikro dalam batuan basaltik (dalam mg/kg) adalah: B = 5; Cl = 60; Co = 50; Cu = 100; Fe = 86,000; Mn = 2,200; Mo = 1; and Zn = 100. Konsentrasi nutrisi mikro dalam serpih yang biasa, dalam mg kg-1: B = 100; Cl = 180; Co = 20; Cu = 50; Mn = 850; Mo = 3; and Zn = 100 (Levinson 1974). Serpih hitam yang kaya material organik bahkan mengandung konsentrasi nutrisi mikro yang jauh lebih tinggi, misalnya rata-rata kandungan Mo adalah 70 mg Mo kg-1 (Ure and Berrow 1982). Akan tetapi batuan-batuan tersebut harus digunakan dalam kuantitas yang cukup banyak untuk menyediakan nutrisi mikro di lapangan, oleh karena itu lokasi sumber daya harus cukup dekat dengan daerah dimana mereka dibutuhkan.
Basal dalam basis data DIM baru tercatat dua lokasi saja, yaitu di Miomaffo Timur, NTT dan Bonepante, Gorontalo. Sumber daya total hampir 2,4 milyar ton, tereka. Disamping itu basal juga terdapat di Kabupaten Tondano, Sulawesi Utara, sumber dayanya belum diketahui tetapi telah dieksploitasi untuk proyek perluasan daratan pantai Manado. Sedangkan serpih, tersebar hampir di seluruh provinsi, terutama berasosiasi dengan batuan-batuan sedimen lingkungan laut – transisi.
Batuan Pemulih Tanah Lain
Masih ada beberapa batuan yang dapat digunakan sebagai agromineral yang berfungsi sebagai pemulih tanah, yang memperbaiki struktur tanah, menjaga kelembaban, yang akan berujung mempertahankan produktivitas tanah, disampaing dapat menyediakan nutrisi yang diperlukan. Beberapa diantaranya adalah zeolit, batuapung dan perlit.
Zeolit
Zeolit adalah satu kelompok berkerangka alumino-silikat yang terjadi di alam dengan kapasitas tukar kation yang tinggi, adsorpsi tinggi dan bersifat hidrasi-dehidrasi. Telah diketahui sekitar 50 spesies yang berbeda dari kelompok mineral ini, tetapi hanya 8 mineral zeolite merupakan pembentuk utama endapan volkano-sedimenter,  seperti : analcim, chabazit, klinoptilolit-heulandit, erionit, ferrierit, laumontit, mordenit and phillipsit. Struktur dari setiap mineral ini berbeda tetapi semua mempunyai lorong terbuka yang besar dalam structur kristal yang memungkinkan satu lubang  besar untuk penyerapan dan bertukar kation, mengakibatkan zeolit sangat efektif sebagai penukar kation (Mumpton 1984). Sifat kimia dan fisika lain yang sangat berguna:
-        volume lubang tinggi (mencapai 50%)
-        densitas rendah (2.1-2.2 g cm -3),
-        sifat menyaring molekul sempurna,
-        kapasitas pertukaran kation tinggi (CEC): 150-250 cmol + kg-1,
-        selectivitas kation, khususnya untuk kation ammonium, potasium, cesium, dll.
Zeolit makin banyak digunakan dalam industri budaya air (Aquaculture), pertanian, hortikultura, industri kimia, konstruksi, pengaturan bahan buangan dan untuk penggunaan domestik (Clifton 1987; Mumpton 1984; Parham 1989). Dalam bidang agrikultural/hortikultural zeolit digunakan sebagai:
-        bahan imbuh makanan hewan,
-        sebagai bahan imbuh tanah dan kompos,
-        sebagai pembawa pestisida dan herbisida,
-        sebagai media tanam.
Di Indonesia dijumpai pada batuan vulkanik Tersier, seperti di daerah Lampung Selatan, Bayah, Cikembar, Cipatujah, Jawa Barat dan Nangapada, Kabupaten Ende NTT.
Perlit
Perlit adalah istilah untuk material gelas volkanik yang tidak diproses dan diproses. Perlit mentah yang tidak diproses adalah metastabil, amorf, batuan volkanik kaya silika yang berkomposisi riolitik – riodasitik. Perlit berwarna transparan kelabu terang – kaca hitam dan mutiara dan mempunyai beberapa rekahan yang konsentrik menyerupai kulit bawang. Saat dipanaskan pada temperatur 1000°C, batuan akan mengembang sampai 20 kali dari volume semula oleh penguapan dari uap air yang terperangkap, berwarna putih, busa gelas yang membentuk perlit komersial, porous, berbobot ringan, steril, silikat stabil secara fisik dengan sifat penahan panas yang baik (good thermal insulation), dan pH netral. Perlit yang mengembang mempunyai densitas masa (bulk density) yang rendah (contohnya densitas masa dari perlit kasar adalah 0.1 g cm-3) tetapi praktis tidak mempunyai sifat bertukar kation.
Perlit dalam pertanian digunakan dalam budaya hidroponik sebagai penyimpan (media) cairan nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan, dengan perlit kita tidak banyak membutuhkan lahan dan bersih dari kotornya tanah.
Perlit di Indonesia dijumpai di Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Gunung Kiamis, Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi, Gunung Muhul dan Suoh, Belalau, Gedong Surian, Mutar Alam, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, Nggelu, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, NTB, G.  Batu, P. Beringin, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan dan Pancurnapitu, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Umumnya berhubungan dengan produk hasil gunungapi Kuarter. Mempunyai nilai pengembangan (Swelling Value) berkisar 16 - 329 %.
Batuapung
Batuapung (pumice) adalah batuan volkanik yang terjadi secara alamiah berwarna muda, secara kimia dan secara fisika tidak mengganggu, mirip dengan perlit. Batuan ini terbentuk sebagai hasil dari ekspansi yang hebat dari gas-gas yang terlarut dalam suatu lava kaya silika kental seperti riolit atau riodasit. Batuan ini ditemukan dalam endapan yang luas terkonsolidasi dan lepas, dekat dengan pipa volkanik dari mana material tersebut dilemparkan. Seperti perlit, batuapung mempunyai pori-pori sehingga menjadi sangat ringan sehingga  dapat mengambang diatas air.
Sumber daya batuapung dieksploitasi untuk berbagai tujuan, terutama untuk industri bangunan, abrasif dan batu pencuci jeans, dan hanya sedikit digunakan untuk meningkatkan fungsi tanah (McMichael 1990). Batuapung yang diproduksi untuk hortikultura diambil hanya dari endapan lepas dengan pemecahan dan pemilahan. Untuk lingkungan produksi batuapung lebih ramah daripada penambangan perlit atau vermiculit karena tidak memerlukan energi yang tinggi untuk ekspansi termal. Alam telah melengkapi proses-proses tersebut selama pembentukan batuapung.
Dalam banyak endapan lepas pemecahan menurut ukuran hanya satu-satunya teknologi pengolahan yang diperlukan, sehingga sangat tidak mahal sebagai media tumbuh. Perbedaan dengan perlit terutama berhubungan dengan ukuran pori-porinya, bentuk dan ukuran partikel bebas. Investigasi oleh Noland et al. (1992) memperlihatkan bahwa batuapung mempunyai sifat fisiko-kimia yang serupa perlit sehingga dapat digunakan untuk menggantikan perlit yang tidak mahal dalam rumah kaca pemeliharaan tanaman.
Endapan batuapung di Indonesia  dijumpai di Provinsi Banten, Bali, Jawa barat, Jawa Timur, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara.
Gambut
Gambut (peat) adalah material organik alam yang unik yang dijumpai dalam sistem lumpur, tanah basah, rawa dan daerah pantai bawah dimana bahan organik terakumulasi pada kondisi reduksi. Endapan gambut ditemukan tidak hanya di belahan utara, tetapi juga di daerah tropis yang luas. Gambut dinilai dari sifat fisika dan kimianya, mempunyai kapasitas menyimpan air tinggi, serta kapasitas tukar ion yang tinggi (100-150 cmol kg-1), porositas tinggi, densitas rendah dan penghantar panas rendah. Sendirian gambut hanya berstatus nutrisi rendah tetapi tetapi dapat dipakai sebagai pembawa pupuk. Penggunaan lain dari gambut adalah untuk media bersih untuk mengalirkan minyak, perantara penyaring instalasi pengolahan limbah, dan sebagai satu sumber energi.
Endapan gambut di Indonesia dijumpai di daerah yang mempunyai endapan rawa yang luas, seperti : Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Riau dan Lampung.

No comments:

Post a Comment