Tuesday, June 21, 2011

materi Kuliah Batubara

I.       Genesa Batu Bara
          Komposisi kimia batu bara hampir sama dengan komposisi kimia jaringan tumbuhan, keduanya terdiri dari unsur C, H, O, N, S, P. Hal ini disebabkan batu bara terbentuk dari jaringan tumbuhan yang mengalami proses pembatubaraan (coalification).
          Teori pembentukan batu bara dikenal dengan dua istilah : Teori insitu dan Teori drift (Krevelen, 1993 dalam Sukandarrumidi, 2005).
          Teori insitu menjelaskan tempat dimana batu bara terbentuksama dengan tempat terjadinya proses coalification dan sama pula tempat dimana tumbuhan asalnya berkembang. Beberapa ciri yg digunakan dalam memberlakukan teori insitu pada daerah tambang batu bara:

·        Terdapatnya Harz = geteh tumbuhan yang telah membatu. Warna harz kuning tua sampai kuning kehitaman, relative lunak jika dibandingkan dengan kuku manusia dan mudah digerus menjadi butir-butir halus, jika dibakar berbau kemenyan
·        Terdapatnya imprint : tikas tulang daun tumbuhan yg tumbang dan tertutup oleh batuan sedimen, umumnya sedimen berbutir halus/jenis batu lempung
Kedua kenampakan diatas banyak didapatkan didaerah tambang batu bara Samarinda dan Tenggarong (sukandarrumidi, 2005).
Teori drift menjelaskan bahwa endapan batu bara yg berada pada cekungan sedimen berasal dari tempat lain, dengan kata lain tempat terbentuknya batu bara berbeda dengan tempat semula tumbuhan asal batu bara. Oleh kerena itu bahan pembentuk batu bara telah mengalami proses transportasi, sortasi dan terakumulasi pd suatu cekungan sedimen, dimana keberadaan herz dan imprint tidak didapatkan, selain itu lapisan batu bara dengan lapisan statigrafi yg diatasnya berbeda.
A.            Faktor yang Berpengaruh dalam Pembentukan Batu bara
Dikenal serangkaian faktor yg akan berpengaruh dan akan menentukan terbentuknya batu bara (Hutton dan Jones, 1995 dalam Sukandarrumidi, 2005) diantaranya :
· Posisisi Geoteknik : letak suatu tempat yg merupakan cekungan sedimentasi yg keberadaannya dipengaruhi oleh tektonik lempeng. Makin dekat cekungan sedimentasi batu bara terbentuk/terakumulasi, terhadap posisi kegiatan tektonik lempeng, kualitas batu bara yg dihasilkan akan semakin baik

    Keadaan topografi daerah : Daerah tempat tumbuhan berkembang baik, merupakan daerah yg relative tersedia air,yaitu daerah dengan topografi yg relative rendah. Keadaan topografi ini jika dipengaruhi oleh gaya tektonik, maka akan berpengaruh terhadap luas penyebaran tanaman yg merupakan bahan utama pembentuk batu bara, hal inilah yg menyebabkan penyebaran terbentuknya batu bara.

·         Iklim daerah : iklim berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Pada daerah beriklim tropis pada masa lampau dimungkinkan terbentuk endapan batu bara yg banyak. Sebab pada daerah dgn iklim tropis hampir semua jenis tumbuhan dapat hidup dan proses pelapukan dapat mudah terjadi.

·         Proses Penurunan Cekungan Sedimen : cekungan sedimentasi di alam bersifat dinamis (dasar cekungan dpt mngalami penurunan atau pengankatan), apabila proses penurunan dasar cekungan lebih banyak terjadi akan menambah luas permukaan tempat tanaman mampu hidup dan berkembang, juga diprediksi batu bara yg terbentuk akan tebal. dengan proses hal ini terlihat di P. Sumetera dan Kalimantan.

·         Umur Geologi : Di Indonesia batu bara didapat pada ckungan sedimen yg berumur tersier (± 70 jt tahun yg lalu), hal ini masih muda jika dibanding dengan jaman karbon, sehingga mempengaruhi tingkat pembatubaraan/rank batu bara yg terbentuk. Makin tua lapisan batu bara, makin tinggi rank batu bara yg diperoleh.

·         Jenis tumbuh-tumbuhan : Jenis kayu yg keras (mis; lamtoro) dan berumur tua akan menghasdilkan mutu arang yg bagus (dalam proses pembuatan arang) jika dibanding dengan jenis kayu yg agak lunak dan berumur muda (mis; gliricidae). Di Indonesia khususnya P. Sumatera dan Kalimantan didapatkan jenis batu bara Bitumina dlm jumlah yg besar, Peat yg dikenal jg sebgai gambut yg banyak terdapat di Kalimantan dan Sumatera yg terbentuk dri tanaman semak dan rumput.

·         proses Dekomposisi : Setelah tanaman mati proses degradasi biokimia lebih berperan, proses pembusukan akan terjadi akibat kinerja mikrobiologi dalam bentuk bakteri anaerobic (jenis bakteri yg bekerja tanpa oksigen). Selama proses biokimia berlangsung dalam keadaan kurang oksigen (kondisi reduksi) mengakibatkan : keluarnya air (H2O) dan unsur-unsur karbon akan hilang dalam bentuk CO2, CO, dan metana (CH4). akibatnya jumlah unsur karbon (C) relative akan bertambah. kecepatan pembentukan gambut tergantung pada kecepatan perkembangan tumbuhan dan proses pembusukannya. semakin tumbuhan yg telah mati tertutup oleh air dan sedimen berbutir halus dgn cepat maka proses disintegrasi/ penguraian olh mikrobia anaerobic ini lebih intensif, berbeda dgn tumbuhan yg terlalu lama berada diudara terbuka.

·         Sejarah Pengendapan : Makin dekat posisi cekungan sedimentasi dengan posisi geoteknik yg selalu dinamis, akan mempengaruhi perkembangan batu baradan cekungan letak batu bara, selama itu pula proses geokimia dan metamorfisme organic akan ikut berperan dalam mengubah gambut menjadi batu bara. apabila dinamika geoteknik memungkinkan terbentuknya perlipatan pada lapisan batu bara yg mengandung batu bara dan terjadi pensesaran maka proses ini akan mempercepat terbentuknya batu bara dgn rank yg lebih tinggi, juga pada daerah cekungan yg dekat dgn intrusi magmatis. proses-proses tersebut akan mempercepat terjadinya proses coalification/proses permuliaan batu bara. Hasil akhir dari proses ini akan menghasilkan batu bara dgn kandungan C yg tinggi dan H2O yg relative rendah.

·         Struktur geologi cekungan : Cekungan sedimen akan mengalami deformasi yg lbh hebat oleh tektonik apabila berada pada sistem Geantiklin dan geosinklin. apabila terjadi tektonik batu bara bersamaan dgn bt.sedimen yg merupakan perlapisan diantaranya akn terlipat dan tersesarkan yg akan menghasilkan panas yg akan mengakibatkan metamorfosis batu bara dan bt.bara akan menjadi lbh keras dan lapisannya terpatah-patah

·         Metamorfisme Organik : tingakat kedua dlam proses pembentukan batu bara adalah penimbunan dan penguburan oleh sedimen baru, apabila penimbunan telah terjadi maka proses biokimia tidak berperan lagi, tetapi mulai digantikan dengan proses dinamokimia. ini akan menyebabkan perubahan gambut menjadi bt.bara dlm berbagai mutu. selama proses ini terjadi akan terjadinya pengurangan air lembab, oksigen, dan senyawa kimia lainnya antara lain : CO, CO2, CH4 dan gas lainnya, disaping itu akan terjadi peningkatan persentase karbon (C ), belerang (S) dan kandungan abu. peningkatan muu batu bara sangat ditentukan oleh faktor tekanan dan waktu

B.   Reaksi Pembentukan Batu Bara

Bt. Bara terbentuk dari sisa tumbuhan yg sudah mati dng komposisi utama terdiri dari Cellulosa. Proses pembentukan batu bara disebut Coalification/pembatubaraan. Faktor fisika dan kimia akan mengubah Cellulosa menjadi lignit,subbitumina, bitumina atau antrasit. Reaksinya sebagai berikut :

Keterangan :
·         Cellulosa (senyawa organic), merupakan senyawa pembentuk batu bara
·         Unsur C pd lignit jumlahnya relative sedikit dibanding pd bitumina
·         Unsur H pd lignit relative lbih bnyk dibanding pd bitumina, semakin bnyak unsur H pd lignit semakin rendah kualitasnya
·         Senyawa gas metan (CH4)pd lignit jumlahnya relative lebih sedikit dibanding pada bitumina, semakin bnyak CH4 lignit semakin baik kualitasnya.

C.   Penciri Lapisan Batu Bara Tebal
Salah satu syarat agar terbentuknya batu bara yg tebal adalah apabila cekungan sedimentasi tempat batu bara terbentuk mengalami proses penutunan lebih dominan oleh tektonik. penurunan dasar cekungan selalu diikuti oleh perluasan sisi pinggir dari cekungan. keadaan ini akan menambah luasnya tempat bagi bahan baku pembentuk batu bara yaitu tumbuhan. Apabila semua faktor yg mempengaruhi pembentukan batu bara telah terpenuhi, hasil yg diperoleh akan diperoleh lapisan Bt. bara yg tebal. Salah satu Penciri kemungkinan disuatu daerah terdapat lapisan Bt, bara tebal adalah : apabila diantara lapisan bt.bara yg relative tebal(± 5 m) terdapat lapisan dlm bentuk batu lempung (Clay band atau clay pating). Keberadaan batu bara selalu berselang seling dgn clay band. dapat jg ditemukan batu gamping pd lapisan bt.bara. ini menunjukkan bahwa cekungan bt.bara tersebut pernah berhubungan dg laut.


JENIS DAN ANALISA BATU BARA
A.    Klasifikasi Batu Bara
1.    Klasifikasi Secara Umum
Secara umum batu bara digolongkan menjadi 5 bagian (dari tingkat yg paling tinngi hingga tingkat yg rendah). Penggolongan ini menekankan pada kandungan relative antara unsur C dan H2O, diantaranya:

a.      Anthracite
Warna                              : Hitam, sangat mengkilat
Kekompkan                     : kompak
Kandungan Karbon        : sangat tinggi
Kandungan air                : sangat sedikit
Kandungan abu               : Sangat sedikit
Kandungan sulfur           : Sangat sedikit

b.  Bituminous/sub bituminous coal
Warna                              : Hitam mengkilap
Kekompkan                    :kurang  kompak
Kandungan Karbon        : relatif tinggi
Kandungan air                : sedikit
Kandungan abu               : sedikit
Kandungan sulfur           : sedikit

c.   lignite (brown coal)
Warna                              : Hitam,
Kekompkan                     : sangat rapuh
Kandungan Karbon        : sedikit
Kandungan air                : tinggi
Kandungan abu               : banyak
Kandungan sulfur           :sedikit


          Juga biasa terdapat istilah pengklasifikasian Batu bara berdasarkan Volatile matter, terdiri atas dua :
·        Long Flaming Coal : Batu bara dengan volatile matter tinggi, apabila batu bara dalam keadaan serbuk dibakar dalam tanur putar, maka akan terurai dengan segera dan menghasilkan nyala yang pendek dan suhunya juga rendah.

·             Short Flaming Coal : Batu bara dengan Volatile matter rendah.

Di dunia juga dikenal istilah hard coal : yaitu batu bara yg dapat mengghasilkan Gross Calorific value lebih dari 5.700 Kkal /Kg (kalornya lebih tinggi dari batu bara jenis bituminous dan sub bituminous). Jenisnya dibagi dua :
Jika kandungan zat terbang/volatile matter hingga 33% (≤ 33%) termasuk kelas 1-5.
Jika kandungan Zat terbang/volatile matter (> 33%). termasuk kelas 6-9.
2. Klasifikasi Batu bara berdasarkan atas nilai kalornya :
·           Batu bara tingkat tinggi (high rank) : meta anthtacite, anthracite, semi anthracite)
·         Batu bara tingkat menengah (moderate rank) : low volatile Bituminous coal, high volatile bituminous.
·        Batu bara tingkat rendah (low rank): Sub bituminous coal, lignite.


3.  Klasifikasi menurut ASTM


B.    KUALITAS BATU BARA

Batu bara yang diperoleh dari hasil penambangan pasti mengandung bahan pengotor (impurities). Dikenal dua jenis impurities yaitu :

a.    Inherent Impurities : merupakan pengotor bawaaan yg terdapat dalam batu bara. ketika batu bara dibakar habiss, maka akam menyisahkan abu, pengotor bawaan ini terjadi bersama-sama pada waktu pada waktu proses pembentukan batu bara. diantara pengotor tersebut ; gypsum (CaSO42H2O), anhidrit (CaSO4), Pyrit (FeS2), Silika (SiO2)dapat juga berupa tulang binatang (yg diketahui adanya kualitas Phosfor pada abu). Pengotor bawaan ini tidak dapat dihilangkan sama sekali tetapi dapat dikurangi dengan pembersihan (teknologo batu bara bersih).

b.    External Impurities : Pengotor yg berasal dari luar, terjadi pada saat proses penambangan, antara lain terbawanya tanah dari hasil penambanganyg berasal dari tanah penutup. Batu bara merupakan endapan organic yg mutunya sangat ditentukan oleh beberapa faktor: tempat terdapatnyacekungan, umur, banyaknya pengotor/kontaminasi.

Dalam memperhatikan mutu batu bara perlu diperhatikan beberapa hal :

Heating Value (Calorofic value/nilai kalor) ; dinyatakan dalam Kkal/Kg. banyaknya jumlah kalori yg dihasilkan oleh batu bara tiap satuan berat (dalam Kg). Dikenal nilai kalor dalam net (Net calorific value atau low heating calorific value) yaitu nilai kalor dari hasil pembakaran dimana semua air dihitung dalam keadaan gas. Nilai kalor gross (gross calorific value atau high heating value)yaitu nilai kalor hasil pembakaran dimana semua air dihitung dalam keadaan ujud cair. semakin tinggi nilai Heating Value (HV), maka makin lambat jalannya batu bara yg diumpan sebagai bahan bakar setiap jamnya. oleh karena itu kecepatan umpan batu bara (coal feeder) perlu disesuaikan.

Moisture Content (kandungan lengas) : Jumlah lengas dalam batu bara akan mempengaruhi penggunaan udara primer. semakin tinggi jumlah lengasnya akan memerlukan lebih banyak udara primer untuk mengeringkan batu bara tersebut. Lengas batu bara ditentukan oleh jumlah kandungan air yg terdapat dalam batu bara. jenis air yg terdapat dalam batu bara :
·         Air Internal (air senyawa/unsur) yaitu air yg terikat secara kimiawi. jenis air ini sulat untuk dilepaskan tapi dapat dikurangi dgn cara memperkecil ukuran butir batu bara.
·          Air external (mekanikal) : air yg menempel pada permukaan batu bara. Satu hal yg menguntungkan bahwa batu bara memeiliki sifat hydrophobic: apabila batu bara dikeringkan, maka batu bara tersebut sulit menyerap air, sehingga tidak akan menambah air internal.

 

        Ash Content (kandungan Abu): Komposisi batu bara bersifat heterogen, terdiri dari unsur organic (berasal dari tumbuhan) dan senyawa anorganik yang merupakan hasil rombakan batuan yg ada disekitarnya, bercampur selama proses transportasi, sedimentasi dan proses pembatubaraan (coalification). Apabila batu bara dibakar senyawa anorganik yg ada diubah menjadi senyawa oksida berukuran butir halus dalam bentuk abu, Abu hasil batu bara ini dikenal dengan ash content (kandungan abu). Abu ini merupakan kumpulan dari bahan-bahan pembentuk batu bara yg tidak dapat terbakar (non conbusitible materials) atau yg dioksidasi oleh oksigen. Bahan sisa dalam bentuk padatan ini antara lain: senyawa SiO2, AlO3, TiO2, Mn3O4, CaO, Fe2O3, MgO, K2O, Na2O, P2O, SO3 dan oksida unsur lain, selain itu terdapat juga abu dari bahan organic yg terbakar. kualitas abu sangat berperan dalam penggunaannya pada industry misalnya pada industry semen jika abu (dalam bentuk padatan) bercampur dengan klinker dan akan mempengaruhi kualitas semen yg dihasilkan, apabila abu ini bercampur dengan udara makaa akan menimbulkan korosi/karatan pada peralatan yg dilaluinya.
    
Sulfur Content (kandungan belerang) : Belerang dalam batu bara dibedakan menjadi 2; dalam bentuk senyawa anorganik (Mineral pirit (FeS2), markasit (Fes2)) dan senyawa organic yg terbentuk selama terjadinya proses coalification. Adanya S dalam batu bara akan berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin (bagian luar) yg terjadi pd element pemanas udara, juga berpengaruh terhadap efektivitas peralatan penangkap abu (electrostatic presipitator). adanya kandungan S di atmosfir dipicu oleh keberadaan air hujan yg mengakibatkan terbentuknya air asam (dlm dunia pertambangan batu bara dikenal sbgai air asam tambng, dgn pH < 7).

 

Volatille Matter (bahan mudam menguap) : Kandungan VM terkait dgn proses pembatu baraan akibat adanya overburden pressure, kandungan air dlm batu bara akan berkurang, sebalinya  calorific value akan meningkat. pada saat bersamaan batu bara mengalami proses devolatisation, diman semua sisa oksigen, hydrogen, sulfur dan nitrogen berkurang sehingga kandungan VM jg berkurang. Kandungan VM akan mengurangi kesemournaan pembakaran dan intensitas nyala api. Kesempurnaan nyala api dinyatakan oleh Fixed carbon.
     Hubungan antara Fuel ratio, fixed carbon dan VM.


                                Fixed carbon
Fuel Ratio  =
                              Volatile matter
 

nilai FR Untuk anthracite = (10-60); semi anthrachite = (6-10),, semi bituminous =(3-7), bituminous =(0,5-3).

     Fixed Carbon : merupakan material yg tersisa setelah berkurangnya moisture, VM dan ash. hubungan ketiganya ditunjukkan sebagai berikut :

Fixed Carbon  (%) = 100 % - moisture content –ash content
 
     Apabila nilai moisture content dan ash disamakan dgn nilai VM, persamaan tersebut diats mnjadi :

Fixed Carbon  (%) = 100  - Volatile matter (%)
 
     dari rumus diatas tampak bahwa makin berkurang kandungan air berarti moisture content makin kecil, nilai FC makin tinggi.

     Hardgrove Grindability Index (HGI): Suatu bilangan yg menunjukkan mudah atau sukarnya batu bara digiling/digerus menjadi bahan bakar serbuk. makin kecil nilai HGI maka makin keras keadaan batu baranya :
HGI + 13,6 + 6,93 W

     dimana W adalah berat (gram) dari batu bara halus berukuran 200 mesh, sebagai catatan harga HGI di Indonesia berkisar antara 35-60. Dalam penelitian Amperiadi (2005) terhadap batu bara dari daerah sebulu, Kalimantan Timur didapatkan nilai HGI antara 41-45.

     Ash Fusion Character of Coal: Batu bara apabila dipanaskan bersama-sama terutama material anorganik impurities akan melebur/meleleh . apabila hal ini sampai terjadi akan berpengaruh pada tingkat pengotor (fouling) , pembentukan terak (slagging) dan akan terjadi gangguan pd blower.


 SIFAT BATU BARA DAN DAMPAK PEMANFAATANNYA
Batu bara di Alam

Batu bara berasal dari tumbuh-tumbuhan, melalui proses coalification yg cukup lama akan terbentuk batu bara, pada saat yg sama akan membentuk gas metana (CH4) yg mudah terbakar jika dipicu dengan panas misalnya pergesekan. Secara alamiah dalam batu bara terdapat kandungan sulfur anorganik (pirit dan markasit) dan S organik yg  ketika beraeaksi dgn oksigen dan air hujan secara bersama-sama akan membentuk larutan asam sulfat (H2SO4). jika air dgn kandungan asam sulfat ini (pH 5-6) mengalir ke badan air (Sungai dan rawa) maka akan mematikan biota air, oleh karena itu salah satu cara yg dilakukan adalah dgn menetralkan air tsb dgn menggunakan kapur tohor.

Batu bara mulai ditambang

Land clearing, dalam proses ini batu bara akan bnyak bercampur dgn tanah pengotor. pada saat penambangan berlangsung, masih terikut kotoran dlm bentuk fragmen batu lempung, fragmen batu pasir,. pengetor tsb pd saat proses grinding bt. bara akan menjadi debu yg akan mengotori butiran batu bara. Penambangan batu bara dapat dilakukan secara terbuka (surface mining)  atau tambang bawah tanah (underground mining. satu hal yg perlu diperhatikan dalam tambang bawah tanah adalah pengadaan ventilasi udara untuk para penambang batu bara,sebab jika tidak maka akan terjadi tekanan gas metana (CH4) yg terakumulasi dan ketika akumulasi gas itu bereaksi dgn oksigen maka itulah yg menyebabkan timbulnya ledakan, disamping itu sangat mungkin timbulnya gas CO2 yg beracun dan mematikan.

Pengangkutan batu bara
           
            Dari tempat penambangan, fragmen batu bara dgn berbagai ukuran diangkut dgn truk ke tempat penimbunan (stock pile). biasanya batu bara yg diangkut dgn truk akan ditutup oleh terpal agar batu bara tidak berceceran dijalan, sebab fragmen batu bara di jalan apabila diinjak oleh kendaraan akan hancur dan menghasilkan debu. di stock pile batu bara akan digiling dengan mesin penggiling/penghancur (crusher) yg bekerja dgn ayakan (sieve), batu bara yg dihasilkan dgn ukuran tertentu sesuai permintaan buyer. Apabila batu bara hasil penggilingan belum diangkut disarankan agar timbunan batu bara tsb. diaduk dgn wheel loader, agar udara dlm tumpukan batu bara dapat dikendalikan shingga tidak timbul panas, jika hal itu tidak dilakukan boleh jd akan timbulnya kebakaran sebab salah satu sifat batu bara adalah Self Ignition (terbakar sendirinya). Batu bara yg digiling, diangkut oleh belt conveyor kemudian dicurahkan ke pontoon. jarak vertical ujung akhir belt conveyor ke pontoon antara 5-10 m. pada jarak tsb. saat batu bara dicurahkan, maka debu batu bara secara alamiah tertiup angin, hasil yg diperoleh batu bara yg tertampung di ponon menjadi bersih

Batu Bara ditempat timbunan konsumen

            Konsentrasi gas metan (CH4) yg tinggi sngat memungkinkan sbgai salah satu penyebab kebakaran batu bara, oleh karena itu diperlukan pengontrolan suhu pada onggokan batu bara. Salah satu metode yg paling sederhana adalah sebagai berikut :
·    Pada onggokan batu bara ditanamkan secara vertical batang pipa pralon yg dindingnya sudah dilubangi , panjang pipa pralon sama dgn tinggi tumpukan onggokan batu bara, disarankan tinggi dari tumpukan onggokan batu bara tidak lebih dari 3 m.
·        Lubang pada pipa pralon dimaksudkan supaya udara yg berada dalam onggokan batu bara dapat masuk kedalam ruang pipa pralon, diasumsikan udara yg ada didalam onggokan fragmen batu bra sama dgn udara yg masuk kedalam ruang pipa pralon.
·     Di dalam pipa pralon digantungkan thermometer alcohol(yg dpt menunjukkan temperature maksimum). pada angka yg menunjukkan temperature kritis dipasang rangkaian kabel, yg dihub dgn alat penyemprot air otomatis
·    Apabila telah mencapai temp. kritis maka secara otomatis aliran listrik akan menggerakkan kelep penutup penyemprot air dan air akan memancar pada tumpukan batu bara. Namun demikian usaha mengaduk-aduk onggokan batu bara jg tetap dilakukan.
 

TEKNOLOGI DESULFURISASI PADA PLTU – BATU BARA

PLTU Batu bara merupakan salah satu jenis pembangkit listrik yg paling banyak menghsailkan debu, SO2 dan NOx. Emisi debu dan gas tersebut apabila tidak dikendalikan dan berhasil lepas ke atmosfer akan mengakibatkan dampak lingkungan oleh karena itu perlu dikembangkan teknologi Desulfurisasi pada PLTU batu bara.
Pemnafaatan teknologi desulfurisasi boiler batu bara / minyak telah dikenal sejak pertengahan tahun 1960 dijepang. Saat ini dikenal 3 tipe desulfurisasi, adalah sebagai berikut :

A.            Tipe Basa

Dikatakan tipe basa sebab dalam proses pengurangan gas SO2. gas tsb. disemprotkan dgn air yg telah dicampur dgn kpur tohor yg akan menghasilkan gypsum dan limbah air. beberapa modelnya yg dikenal

·                Model limestone – gypsum process
dgn menggunakan limestone/lime sbgai absorben. medel jenis ini umumnya digunakan pada pembangkit listrik dgn kapasitas 150 MW atau lebih. secara umum desulfurisasi jenis ini berlangsung sebagai berikut:


dari persamaan tersebut, terlihat bahwa gypsum diperoleh dgn menyemprotkan udara kedalam slurry sulfit yg terbentuk dari hasil ikatan antara sulfur dioksida dgn kapur.

Prinsip kerja Model ini :
melalui pencampuran limestone/lime dalam tangki air yg membentuk slurry dan diteruskan kedalam scrubber, ditempat ini slurry akan disemburkan dan beraeaksi dgn gas buang hasil pembakaran batu bara dari boiler guna mengurangi kandungan SO2 dari gas buang tersebut.

Di Jepang dikembangkan 3 jenis scrubber untuk Flue gas Desulfurisasi (FGD), diantaranya:
·    Jenis packet tower Dikembangkan oleh Mitsubishi Heavy Industries (MHI); menghasilkan kontak antara gas dan liquid (slurry) yg sangat baik. teknologinya sederhana dgn permukaan licin sehingga tidak mengahasilkan scaling (terak)
·            Jet Bubbling Reactor
·           Scrubber Oxidezer System

 banyak florida dan alumina yg dapat menurunkan efisiensi pengurangan gas buang dan kadar abu. untuk menaggulanginya ditambahkan zat additivies (zat tambahan) seperti sodium, magnesium, dan senyawa lainnya yg jg memiliki kemampuan yg sama.
Sistem F tidak mempunyai oxidizer yg dapat mempengaruhi kualitas gypsum. Untuk itu perlu pengaturan proses oksidasi melalui pengaturan pH sekitar 5 dan konsentrasi gas sebesar 1.000 ppm.

B.            Tipe kering

tipe ini dalam pengoperasiaannya banyak memerlukan limestone/lime untuk mengikat gas SO2. Abserben batu kapur diinjeksikan kedalam ruang pembakaran (boiler/ semacam ketel uap), sedangkan absoben kapur diinjeksikan kedalam duct( pipa/saluran buangan). disamping itu air dalam proses ini tidak diperlukan, sehingga setelah penginjeksian limestone atau lime, gas buang tsb. langsung diteruskan kecerobong untuk dibuang ke atmosfer. Walaupun teknologi ini cukups sederhana, namun kenyataanyan tidak banyak Negara yg memanfaatkan teknologi tsb. hal ini disebabkan oleh:
·         Efisiensi pengurangan gas SO2 sangat tergantung dari volume injeksi limestone atau lime (semakin banyak injeksi limestone/lime, semakin besar efisiensi pengurangan gas SO2
·        SEmakin memperbesar penurunan  produksi listrik yg diakibatkan oleh endapan yg terjadi di boiler atau duct.
·  produk sampingan berupa gypsum kurang dapat dimanfaatkan seab bnyak mengandung abu terbang, kapur, kasium sulfat dan sulfit.

C.            Tpe Semi Kering

Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem kering ke sistem basah, yg menggunakan limestone/lime sebagai absorben serta air yg disemprotkan kedalam spray cooler. guna membantu proses pendinginan gas buang hingga mecapai 70 oC. pada dasranya tipr ini bekerja dengan dua tahap desulfurisasi yaitu yg berlangsung diruang pembakaran dan yg beralngsungdi spray cooler.

Efisiensi Desulfurisasi tipe semi kering dapat dicapai hingga 80 %.

DESULFURISASI BATU BARA SECARA MIKROBIAL

Sulfur dalam btubara dibedakan dalam 2 jenis; sulfur anorganik (sulfur sulfat dan besi disulfida; pirit (Fe2S) dan markasit dan sulfur organic. Sulfur sulfat tidak akan terlibat dalam pembentukan oksida sulfur (Sox), yg merupakan salah satu polusi udara. meskipun harga batu bara relative murah, penggunaan batu bara sebagai bahan ebergi melalui pembakaran menghasilkan limbah berupa gas yg dianggap sebagai bahan polusi, diantaranya; gas nitrogen dioksida (NO2) dan oksida sulfur (SOx). banyak penelitian telah dilakukan untuk menurunkan kadar oksida sulfur dari hasil pembakaran batu bara.

Teknologi pemisahan batuabara dpt dilakukan pd tahap sebelumnya, selama atau sesudah pembakaran atau kombinasi diantaranya.

Ditinjau dari prosesnya desulfurisasi selalu melibatkan proses kimia, fisika dan biologi atau kombinasi ketiga proses. Saat sekarang teknik desulfurisasi batu bara yg umum dilakukan adalah dgn pembersihan secara fisik seperti pembusaan (froth flotation), penggumpalan dgn minyak (oil Angglomeratin) dan pemisahan scr gravitasi (gravitasi separation) (Min and Wheellock,1977. dalam sukandarrumidi 2005)

Froth flotation dan oil anglomerating menggunakan teknik pemisahan akibat dari perbedaan sifat permukaan batu bara dan partikel mineral anorganik yg terendapkan dalam air. pada  Froth flotation partikel batu bara yg bersifat hydrophobic (yg sulit mengikat air) dgn partikel batu bara yg bersifat hydrophilic (mudah mengikat air)

 Dalam proses oil anglomerating partikel batu bara secara selektif dilapisi dan digumpalkan oleh minyak, kemudian dipisahkan dgn jalan penyaringan. pemisahan secara gravitasi dapat menghasilkan yg tinggi untuk partikel batu bara yg kasar (ukuran besar) dan kurang selectif untuk batu bara dgn ukuran kecil, oleh sebab itu pemisahan secara gravitasi merupakan proses pelengkap pd cara pembersihan dgn cara pengapungan maupun penggumpalan minyak.

Walaupun demikian tidak satu pun pemisahan csra fisik ini akan bekerja secara efektif kecuali kotoran mineral hrus dibersihkan dari batubara terlebih dahulu. Kerugian utama dari pembersihan secara fisik adalah kehilangan energy secara tidak langsung dalam pemisahan partikel batubara yg mengandung sulfur pirit halus dan terikat didalam batu bara.

Proses desulfurisasi kedua adalah dgn metode kimia. Proses tsb antara lain : proses Meyers (Hamersma.1977), desulfurisasi dgn oksidasi Friesnab, 1977) hidrodesulfurisasi,(Lening, 1977).

Proses Meyers merupakan proses leacing secara kima menggunakan cairan sulfat besi, yg digunakan untuk mengambil kandungan sulfur pirit  dan bukan sulfur organic.

Proses desulfurisasi dgn oksidasi yaitu dgn udara. Dimana kadar S dikurangi melalui konversi dengan udara. menjamin hasil yg mudah menguap (terutama sulfur dioksida) dan sulfat-sulfat yg mudah larut dan dapat dipindahkan dgn medium air pencuci pada tahap berikutnya.





1 comment:

  1. permisis gan kalau boleh tahu pake buku apa sebagai referensinya... untuk keperluan Tugas Akhir... trims

    ReplyDelete